Dunia Sophie: Bukan Sekedar Pengantar Filsafat, Tapi Juga Kritik

0
2604
Buku: Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat Karya Jostein Gaarder (Doc. Gusti)

Oleh: Gusti Fahriansyah

Filsafat menjadi sebuah momok menakutkan di mata orang banyak, terlebih mahasiswa saat ini. Pandangan filsafat yang selalu mengawang-awang dalam artian menggunakan bahasa tinggi dan pemahaman rumit, sehingga sulit dicerna oleh kebanyakan orang. Lebih buruknya, filsafat dianggap suatu kebebasan berpikir dan liar (arogan) bahkan amoral yang sering disalahartikan ketika berhadapan dengan budaya dan agama. Namun tidak bisa kita tolak, peran filsafat dalam segala bentuk pengetahuan (sains, tradisi, ideologi, agama) sangat besar. Sebab, pada dasarnya filsafat merupakan cara berpikir logis serta empiris terhadap sebuah pengalaman untuk merumuskan sesuatu yang sebenarnya tak terumuskan, karena pengalaman itulah cara pandang filsafat tidak pernah ada puncak (garis kebenaran mutlak) namun memiliki kesepakatan yang kuat atas hasil pemikiran filsafat tersebut. Akan tetapi bahasa serta pemahaman tinggi dan rumit menjadi sebab orang-orang tidak menyukai atau sulit memahami filsafat, meski setiap hari tanpa disengaja mereka telah berfilsafat.

Pada tahun 1991 seorang penulis berkebangsaan Norwegia yaitu Jostein Gaarder, mengolah pelajaran filsafat dalam karya sastra berbentuk novel dengan bahasa-bahasa dan contoh sederhana nan mudah diterima. Di umurnya yang ke-39, dia berhasil menerbitkan Dunia Sopie yang merupakan dasar orang-orang untuk mengenal filsafat, hematnya, pengantar filsafat berbentuk karya sastra sehingga bisa dibaca (dinikmati) dengan mudah oleh semua kalangan.

Selain bahasan filsafat yang sederhana, keberhasilan Jostein Gaarder juga terletak pada cara dia mengambil plot dalam cerita. Di awal kita akan menjustifikasi bahwa si Sopie adalah manusia nyata yang belajar filsafat kepada Alberto yang diawali sebuah surat misterius yang akhirnya mereka bertatapan juga di kediaman Alberto. Namun, tokoh Sopie masih dilumuri dua nama, yaitu Hilde yang sama dengan Sopie (baik dari sifat, alamat rumah, sekolah, dan perilaku) serta Albert Moler Knag yang lebih misterius. Di pertengahan novel kemudian Jostein Gaarder membalikkan fakta, bahwa tokoh yang asli adalah si Hilde dan Albert (seorang penulis cerita dengan tokoh Sopie dan Alberto untuk hadiah ulang tahun Hilde, putrinya). Dan di akhir, Jostein Gaarder menjadikan Sopie sebagai pikiran (rasa ingin tahu) Moler Knag mengelilingi kepala Hilde, ditandai dengan hadirnya Sopie dan Alberto yang tak nampak di dunia nyata Hilde dan Albert. Itulah pemahaman saya setelah membaca novel Dunia Sopie.

Namun, sebagai orang yang menulis ini, terdapat sebuah pertanyaan mendasar setelah membaca novel tersebut. Kenapa tokoh dalam novel harus perempuan? Mengapa orang bingung penuh pertanyaan dan berpikir keras harus Sopie (Perempuan) yang merupakan sesuatu di dalam Hilde (perempuan)? Dan mengapa orang yang mengelabui dan memusingkan mereka itu Albert KNOG (laki-laki)? Juga yang inti, kenapa tokoh filsuf yang diterangkan semuanya adalah laki-laki (meski ada satu paragraf yang menceritakan filsuf perempuan yaitu Hildegard)? Rasa curiga saya muncul kepada si penulis novel Jostein Gaarder, apakah Dunia Sopie adalah pengantar filsafat atau ada pesan lain yang ingin disampaikan sampai-sampai dia menetapkan perempuan sebagai tokoh utama. Bahkan kecurigaan saya tidak hanya tertuju pada novel ini, tapi juga sejarah.

Dari pandangan liberal saya, penulis ingin menjadikan novelnya sebagai refleksi terhadap sesuatu yang hilang dalam diri seorang perempuan. Dalam artian, perempuan yang tidak terlena oleh perkembangan zaman yang akhirnya menjerumuskan mereka pada ketertindasan. Novel pada sedangkal pandangan saya, baik Sopie atau Hilde menunjukkan bahwa perempuan harus lebih keras dan serius dalam menjalani hidup yaitu dengan kebebasan belajar, berjuang serta menjadi terobosan baru akan pengetahuan. Sehingga tidak terjadi atau terbentuk insan yang mudah dikecoh oleh perkembangan zaman yang terus digerumuk pemikiran utopian para lelaki. Bukan artinya tidak ada perempuan yang berpengaruh dalam sejarah pengetahuan. Tapi sedikit orang yang mengetahui konstribusi pemikiran yang diciptakan perempuan seperti Hypatia, Hildegard, Mary Wollstonecraft, Diotima, Ban Zhao dan lainnya yang sedikit literatur membahas tentang mereka (mungkin ada tapi ditiadakan).

Tentu, ketika berbicara perempuan kita akan tertuju pada kebebasan serta hak perempuan yang kemudian menjadi dasar suatu ideologi feminisme. Di zaman ini, feminisme yang sudah final terus digadang-gadang membentuk tuntutan pada kaum patrialis. Why? Inilah kecenderungan yang terjadi ketika feminisme hanya dianggap suatu gerakan (fisikal) membela hak perempuan. Pada dasarnya juga, ada yang penting dan musti direnungkan bersama , yaitu perempuan yang matang secara ideologis dan produktif juga literatif. Sehingga pandangan feminisme tidak hanya membentuk suatu gerakan sejarah tapi juga sebagai sejarah pengetahuan dan pandangan berpikir untuk perempuan penerusnya. Saya rasa itulah juga harapan Hildegard selaku perempuan yang membuktikan bahwa pemikiran Aristoteles “bahwa laki-laki lebih praktis dari pada perempuan” salah besar. Bahkan Hildegard selaku ahli botani, pengkhotbah, pengarang, ahli ilmu alam dialah contoh bahwa perempuan bahkan lebih praktis dan ilmiah. Juga tokoh Sopie dan Hilde dalam karya Jostein Gaarder memberikan contoh bahwa perempuan juga mampu berpikir.

Akhir dari saya. Pembaca mungkin akan bangga bahwa ada penulis yang masih meletakkan perempuan sebagai tokoh yang positif dalam jalannya pengetahuan, seperti Jostein Gaarder dengan Dunia Sopie-nya. Apakah novel itu termasuk sesuatu yang mengingatkan kita akan konstribusi perempuan dalam sejarah? Saya rasa dengan membaca novel itu kita akan mencari dan menemukan bahwa perempuan juga hebat, dan saya tambah bahwa novel itu juga kritik besar di zaman sekarang, terutama Indonesia, sehingga sesuai dengan kategori novel secara umum, yaitu FIKTIF. Namun akhirnya semua ini adalah pandangan liberal saya setelah membaca Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, dan patut kita renungkan ulang.

 

*Penulis_Inka Gusti Fahriansyah adalah mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep. Seorang penyair dan penulis lepas. Karya-karyanya telah banyak dimuat di media online maupun cetak, dan telah dibukukan di berbagai antologi.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here