Saya Sebut, Tanéyan Lanjhâng: Kampus Seribu Masalah

0
762
Picture by mediaretorika.com

Oleh: Iqbal Hasbuna

Sebenarnya, saya sangat keberatan dalam menulis ini. Bahkan, saya bingung memulai dari mana. Akan tetapi, ketika saya melihat banyaknya ketimpangan yang terjadi, saya terpaksa dan berat hati melakukannya.

Akhir-akhir ini, saya sadar, bahwa mahasiswa dapat dipersatukan manakala mereka sadar akan keperluannya. Jadi selama mereka belum sadar, semua usaha akan gagal. Cara menyadarkannya, hanya satu. Yaitu, bicara “blak-blakan”, nyata, dan jelas, agar cepat dimengerti.

Kalau boleh pinjam kata-kata senior saya, bahwa untuk menyadarkan mahasiswa diperlukan cambuk, dengan tulisan yang berani. Tulisan-tulisan yang logis dan ilmiah. Sekarang ini, yang diperlukan adalah orang-orang yang pemberani, bukan orang yang terdidik dan pandai. Orang yang pemberani itu, menunjukkan gigi bukan menunjukkan lidah.

Saya juga sadar, dengan tulisan, orang-orang bisa dengan gampangnya dipenjara. Tetapi, karena ini jalan satu-satunya, maka harus dilawan!.

Kalau boleh jujur, kampus yang berlatarbelakang pendidikan ini, sebut saja Tanéyan Lanjhâng, adalah kampus yang penuh dengan masalah. Seperti pelecehan seksual, intimidasi kepada mahasiswa, dosen Strata 1 (S1) mengajar S1. Bahkan, baru-baru ini, pembiayaan microteaching yang tidak transparan. Alasannya sangat klasik dan kurang masuk akal. Bagaimana tidak, kampus berdalih, biaya pendaftaran tersebut digunakan untuk operasional Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Sungguh mencengangkan bukan?.

Saya berani mengatakan, bahwa kampus ini, kalau berhadapan dengan uang, tidak akan transparan. Padahal, banyak mahasiswa secara tidak langsung ditindas oleh kampus. Bahkan, untuk pembiayaan microteaching tersebut, terdapat mahasiswa yang rela menjual kambing satu-satunya.

Mungkin menurut kampus, biaya 400 ribu sangat kecil. Tetapi bagi mahasiswa seperti saya, sangat cukup bertahan hidup selama 1 bulan. Sebenarnya, kemarin, pimpinan kampus sudah dinegosiasi oleh mahasiswa terkait penurunan pembiayaan. Meskipun, sebelumnya, pimpinan tersebut sulit untuk ditemui, terkesan bungkam.

Bahkan, ketika banyak mahasiswa yang mengeluh terkait pembiayaan itu, sudah nyata atau tampak. Usul-usul pengurangan pembiayaan microteaching sebanyak 50%, masih ditolak dengan pelbagai alasan, tanpa mau peduli apakah mahasiswa mampu atau tidak.

Tetapi, ketika ada suatu berita tantang fakta yang terjadi, tanpa malu-malu, malah mengintimidasi jurnalis mahasiswa. Apakah pantas disebut sebagai pimpinan, saya rasa tidak, kalau “setan uang” iya.

Tidak ada cara lain untuk menghentikan gerakan mahasiswa, kecuali berhenti menjadikan kampus sebagai ladang bisnis, atau copot jabatannya.

Saya tidak mau memprovokasi mahasiswa masalah ini. Namun, lagi-lagi, apakah kalian pantas dilabeli mahasiswa, kalau diam melihat ketimpangan yang terjadi. Seperti kata panutan saya, Soe Hoek Gie, mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan, dan dengan sebuah kata kita dapat mengubah sudut pandang seseorang. Jujur, saya geram, melihat mahasiswa yang hanya pintar berdiskusi, tetapi tidak ada implementasi dari diskusi tersebut.

Terakhir, saya mau menyampaikan, jangan pernah berharap kampus kita akan baik-baik saja, kalau tidak ada alat pengontrol dibelakangnya, siapa lagi kalau bukan mahasiswa, yang katanya “agen of sosial control”.

*Penulis tersebut, adalah Iqbal Fuadi Hasbuna. Sekarang, dia menjabat sebagai Pimpinan Umum LPM Retorika periode 2023-2024. Meskipun kuliah yang berbackground pendidikan, dia tidak mempunyai cita-cita menjadi guru.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here