Akademisi dan Organisatoris, Manakah Yang Lebih Baik?

0
727
Ilustrasi menggambarkan pilihan antara mahasiswa organisatoris dan akademisi (reqnews.com)

Oleh : Akhidatul Avida*

Bagi yang telah usai belajar dibangku SMA, kini saatnya melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi baik ke Universitas ataupun lembaga pendidikan lain sejenisnya. Menanggalkan predikat siswa menjadi mahasiswa, bagi saya menjadi suatu hal yang semakin membuat penasaran, kira-kira hal baru apa yang akan saya dapatkan selama menjadi mahasiswa. Dan ternyata, ketika dijalani membuat saya berpandangan seakan-akan harus memilih dua jalan yang sangat semu, yaitu memilih sebagai mahasiswa akademisi atau mahasiswa organisatoris.

Lantas, mana yang lebih penting diantara keduanya?, pasti jawaban yang sering ditemukan adalah kedua pilihan itu sama-sama penting. Mengapa demikian?, bukankah menjadi akademisi adalah tujuan kita untuk melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi?. Gigih dalam hal belajar, memahami mata kuliah yang diajarkan, mendapat nilai yang sempurna, lulus dengan IPK tertinggi. Tidakkah ini sebuah jalan yang benar untuk kita pilih, disaat kita mempersiapkan diri untuk menyongsong masa depan. Lalu bagaimana dengan mahasiswa organisatoris, mereka sesalu berdiskusi, melakukan pergerakan, jarang masuk kuliah, banyak relasi, pengetahuan sosialnya lebih mumpuni. Jika hanya itu deskripsi yang dapat kita tarik sebagai sebuah alasan bagi kita untuk memilih diantara keduanya, maka hal itu merupakan suatu kesalahan yang sangat besar. Karena dengan deskripsi yang demikian akan menyudutkan salah satu pihak.

Saya bukanlah mahasiswa organisatoris, bukan juga mahasiswa akademisi, saat ini mungkin usia saya di kampus masih sangat dini sehingga belum mencicipi manis pahitnya kehidupan kampus. Tetapi sebelum saya masuk kuliah saya sudah banyak mendengar sentimen yang disampaikan masyarakat terkait kehidupan di kampus. Sentimen itu kurang lebih sama seperti deskripsi yang saya paparkan di atas. Ketika saya bertanya langsung kepada kakak tingkat ternyata tidak seperti itu adanya. Menjadi mahasiswa organisatoris seringkali dijustifikasi sebagai mahasiswa yang suka main-main. Nyatanya masih banyak mahasiswa yang aktif diorganisasi mampu lulus tepat waktu dan menjalankan kewajiban akademiknya. Sebagai akademisi tidak  semerta-merta hanya fokus pada nilai IPK dan materi kuliah, akan tetapi juga perlu untuk mengikuti organisasi seperti halnya mahasiswa yang lain. Oleh karena itu, sebernarnya tidak ada yang terbaik diantara keduanya, karena segala sesuatunya akan ada sisi positif dan negatifnya. Begitulah kira-kira dunia mahasiswa organsatoris dan akademisi.

Kita sebagai mahasiswa seharusnya tidak perlu untuk mendengarkan ujaran-ujaran masyarakat tentang dua klasifikasi itu. Bagi saya sebagai mahasiswa yang tidak ingin berpihak diantarra keduanya, jika boleh menyampaikan pendapat maka kedua hal itu sangatlah penting. Menjadi akademisi akan tetapi tidak aktif dalam organisasi maka akan timpang sebelah, sehingga cenderung bersikap egois. Namun jika kita menjadi mahasiswa organisatoris yang cenderung mengesampingkan kuliah, maka akan membuat hidup kita seakan hanya bermain-main saja.

Sebenarnya ketika ditinjau ulang klasifikasi tersebut hanyalah milik orang-orang yang membenarkan kebeneran yang semu, mereka melihat semua itu dari sudut pandang yang sangat sempit sehingga dengan mudahnya menghakimi tanpa tahu kebenaran yang sesunguuhnya. Tidak mengikuti atau tidak memilih dua identitas tersebut bukan berarti tak peduli akan keduanya, hanya saja saya tidak mau terjebak dengan identitas semu yang mereka ciptakan untuk mengolok-olok salah satu pihak bahkan mungkin keduanya.

*Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Semester I.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here