Perkenalkan namaku Siti Nur Khotijah. Aku lahir di sebuah desa yang sebagian penduduknya adalah petani. Desaku memiliki pemandangan indah, menurutku karena di sekitar rumah terhampar luas persawahan yang menyejukan penglihatan, padi-padi yang hijau, tanaman-tanaman yang mulai berbuah, kebun-kebun yang rapi.
Pelan aku berjalan melangkah, menikmati keindahannya. Melihat di sebelah utara nampak masjid besar yang menyapa penglihatanku. Terlihat sayup-sayup cahaya lampu yang masih menyala, gerakan pepohonan yang tinggi dihempas oleh tiupan angin tiada henti. Langit yang gelap kini mulai terang menderang, bintang-bintang yang bersinar perlahan mulai meredup. Lingkungan di sekitarku masih begitu sejuk dan hijau, karena belum tertindih oleh gedung- gedung tinggi, masyarakat sekitar saling membantu, hal itu dapat aku buktikan ketika salah satu warga yang sedang ada pekerjaan masyarakat sekitar langsung berbondong-bondong untuk membantu.
Angin sejuk berhembus melewati celah jendela kamarku, begitupun dengan fajar yang sudah siap menutup hari lelahnya, begitu banyak yang aku alami saat ini. Bagaimana aku bisa melupakannya, sedangkan masih menggantung dalam ingatan. Namun, aku sangat bersyukur pada Tuhan, karena sore telah memikatku dengan segala keindahannya, hingga aku lupa, dan aku dapat beristirahat dalam dekapan erat sang malam yang membuat aku terlelap dalam tidurku.
Kenikmatan dan kedamaian hidup belum tentu berada pada tempat mewah ataupun harta yang berlimpah ruah, kesederhanaan bukan berarti hidup rendah dan hina. Namun, hidup sederhana itu tidak lain untuk membangun jati diri penikmatnya. Kesederhanaan itu mengantarkan manusia kepada derajat yang lebih mulia dan menjadi sebuah obat bagi jiwa yang selalu meronta dan bergelimang dengan berbagai kemelut hidup yang tidak bisa dibendung. Aku sangat bersyukur, walaupun dari keluarga yang sederhana tapi aku memiliki Ibu yang sangat luar biasa. Kehadirannya bagaikan cahaya dalam kegelapan, kasih dan sayangnya begitu elok bagaikan mentari yang selalu menyinari dunia tanpa henti, Kelembutan jiwanya lebih lembut dari kapas, cahaya, matanya indah seperti pelangi.
Aku bangga walaupun terlahir dari anak petani, yang lahir jauh dari peradaban kota, di sebuah kampung kecil yang mata pencaharian nya mayoritas bukan orang-orang berdasi, bergelut dengan panasnya matahari, bergulat dengan lumpur-lumpur di sawah yang penuh kotoran dan kuman, berangkat pagi-pagi walaupun ditempuh dengan jalan kaki, dengan tanpa lelah yang bergelut dalam dirinya, ayah berangkat dengan penuh perjuangan dan semangat yang besar untuk dapat menyekolahkan aku sampai jenjang saat ini.
Rumahku tidaklah mewah ataupun indah, melainkan hanya rumah kumuh yang sangat sederhana, tetapi ibu selalu mengajarkan aku untuk selalu bersyukur apapun keadaanya. Hidupku memang sederhana, tetapi aku memiliki impian dan tekad yang sangat kuat. Ibu selalu mengajarkanku untuk bersyukur apapun keadaanya. Bahkan tak kutemui ibu di waktu pagiku tiba, karena ibu berangkat ke pasar untuk menjual hasil panennya ke pasar pada pukul 01:00 dini hari, pulang ke rumah untuk menunaikan ibadah shalat subuh, lepas dari itu, ibu kembali berangkat ke sawah untuk membantu ayah.
Malam, sekelabat waktu yang singkat, tapi mempunyai arti yang besar bagi bumi dan manusia. Malam, mungkin sebagian orang menganggap sesuatu yang sangat menakutkan. Maklumlah, karena malam selalu identik dengan hitam, gelap, dan kelam. Terkadang malam menyisakan cerita panjang yang sangat memilukan. Tapi, tidak selamanya malam itu kelam, malampun terkadang menjadi sumber inspirasi. Perjalanan malam juga mencetak sejuta kisah, selalu ada cerita mendebarkan yang tiba-tiba menyembul dari mata dan hati. Terkadang apa yang kita lakukan menurut kita baik ternyata berbanding terbalik dengan lingkungan sekitar. Mereka terkadang mendefinisikan orang lain semau mereka. Budayanya dalam membicarakan orang lain masih melekat dalam dirinya.
Malam semakin larut, namun perkataan orang sekitar masih melekat dalam bak ingatan. Cacian itu aku terima dalam hati. Mengalir deras dalam ingatan dan memposisikannya sebagai hal terpenting yang tak boleh terlupakan. Tak ada dendam, dan tak ada balasan caci. hanya kebisuan yang aku berikan. Mereka selalu memposisikan bahwa aku yang kata perempuan tidak pantas melanjutkan pendidikan, tugas perempuan itu selalu dikatikan dengan pemikiran tradisional tentang Sumur-Kasur-Dapur. Memang benar, namun perempuan juga punya hak dalam berpendidikan seting-tinggi nya. Karena, madrasah pertama bagi anak-anak nya adalah seorang Ibu. Menjadi perempuan bukan berarti hanya menjalankan tugas di dapur dan di rumah. Menjadi perempuan berarti memiliki destinasi hidup hanya satu yakni menikah. Hal ini yang harus kita ubah, lanjutnya, dan kita perempuanlah yang harus memeranginya. Berjuanglah, menurutnya, agar perempuan sendiri bisa mendapatkan kesetaraaan dalam segala hal. Berjuang untuk menjadi setara dengan laki-laki, tapi berjuanglah untuk menjadi sungguh-sungguh perempuan, berjuanglah agar segala kemampuan kita, bisa digunakan dengan baik.
Ada banyak hal yang baik dalam diri kita yang bisa kita bagikan agar dunia menjadi tempat yang layak. Berhentilah mempersalahkan budaya, dan berjuanglah agar kita bisa mengoptimalisasikan kapasitas kita. Berilah warna dan rasa keperempuanan kita, di lingkungan, di tempat kerja, dan di mana saja kita berada. Kini saatnya bagi kita. Teruslah menjadi perempuan, tanpa harus menjadi seperti laki-laki karena setiap orang pasti memiliki pengharapan, cita-cita, impian, keinginan, bahkan cara tersendiri menghabiskan atau menjalankan kehidupannya.
Derita dalam perjalanan akupun pernah mencicipinya, tertitih menelusuri jalanan penuh kerikil. Kaki terasa sakit tertusuk duri-duri tajam yang terselip. Namun, Rasa sakit yang merajalela dalam diri harus di tebang menjadi kuncup bunga yang dapat merekah dengan indah dan mempesona tanpa duri-duri keterpurukan. Hinaan atau cacian dapat menjadikan manusia yang lebih tangguh dari sebelumnya, meski air mata pernah menjadi saksi bisu.
“Nak” panggil Ayah dan Ibu’’
“Iya ada apa Yah?” jawab aku
“Nak, Ayah dan Ibu minta kamu kuliahnya jangan ke luar kota. Ayah dan Ibu khawatir jika kamu harus kuliah ke luar kota, selain itu resiko anak perempuan itu besar, Nak’’ ucap ayah.
“Tapi Yah, kalau tidak keluar kota jurusan yang aku inginkan sejak dulu tidak ada, Yah’’ jawab aku dengan nada sedih.
“Kamu bisa menekuni hobimu dalam bidang Bahasa Inggris, dengan mengikuti beberapa kursus, tapi ayah minta untuk tidak kuliah di luar kota” jawab Ayah.
“Baik, yah” jawab aku dengan penuh kesedihan.
Kembali aku memandang langit yang telah berubah menjadi jingga, burung yang berkicau seolah-olah sedang bercerita, dan menyaksikan senyum di pelipis bibirku, desis suara daun pepohonan yang tersentuh karena angin, aku mengatur pandangan ke arah matahari yang mulai terbenam, aku terpaku dalam pandangan, menikmati matahari yang akan terbenam dengan latar belakang warna langit berubah warna seirama dengan matahari. Kelopak mataku terpejam dengan erat, mencoba menerawang warna-warni kehidupan, hikmah yang diperoleh dapat membuka cakrawala ingatanku. Aku mulai menjelajah dalam lautan, membuka lembaran khayalan baru yang dipenuhi tepisan ombak, sementara tepisan angin begitu dingin memporak-porandakan sebuah istana yang aku bangun saat itu, linangan air mataku terbasuh dengan semerbak rintihan doa yang ku panjatkan.
Mulai detik ini aku harus bisa dan meyakinkan hati, melintasi bumi yang berlika-liku itu, angan yang ku redam saat ini kini harus terdampar dalam ruang imajinasi. Panorama alam yang indah, mulai aku rasakan keindahannya. Bagaimana tidak, aku kira angan yang disimpan dari dulu akan menjadi cerita manis, namun aku harus membiasnya secara perlahan. Menjadi mahasiswi di salah satu kampus yang indah adalah keinginanku sejak aku duduk di bangku SMA, aku sungguh ingin menikmati suasana lingkungan kampus yang hijau, asri, dan sejuk dipandang mata saat aku berjalan menyusuri kampus untuk menuju ruang kelas. Dan satu lagi, aku ingin kuliah di universitas bergengsi pastinya juga perguruan tinggi yang memiliki gedung bagus dan mengambil jurusan yang aku impikan, yaitu Bahasa Inggris. Namun, kenyataannya adalah setelah aku lulus dari bangku SMA harus menerima bahwa takdirku tidak berpihak di perguruan tinggi negeri yang suasanya aku impikan selama ini.
Aku harus menerima bahwa aku hanya dapat memasuki perguruan tinggi swasta . Akan tetapi perguruan tinggi swasta tempat aku menimba ilmu tidak kalah bagus dengan perguruan tinggi negeri yang ada di Jakarta.
****
Penulis: Siti Nur Khotijah, mahasiswi Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Gadis asli dari Sumenep-Madura ini, proses menerbitkan beberapa antologi cerpen. Pemilik motto ’’Dipuji Jangan Terbang, Dicaci Jangan Tumbang’’ Jejaknya bisa dilacak melalui akun instagram; @nenkkhotijahkhotijah. Kicauannya terselip dalam akun facebook; Nenk Khotijah Khotijah. Baginya menulis adalah menjejak aksara, berbagi pengalaman sehingga ia akan terus menulis.