Punya Tagihan 10 Juta, Mahasiswa Sebatang Kara Jadi Korban KIP Kuliah Tak Tepat Sasaran

0
2289
TIDAK LAYAK PAKAI: Indra Arief Kurniawan saat melipat baju di atas kamar tidurnya, Minggu (26/05/24). (Iqbal/mediaretorika.com).

MEDIARETORIKA.com–Tidak ada yang lebih hancur dari pada kehilangan orang tua dan keluarga. Begitu ungkapan yang sering dikatakan Indra Arief Kurniawan, seorang anak laki-laki di Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, yang hidup sebatang kara di sebuah rumah dengan kondisi memperihatinkan.

Cerita pilu Indra ini dimulai sejak ibu tercintanya meninggal dunia karena mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Persis setelah 3 bulan Indra lulus SMA. Indra mengaku sejak saat itu dunia sangat hancur, karena tak ada lagi keluarga yang bisa menemani perjalanan hidupnya.

Kata Indra, saat itulah hidup benar-benar tidak ada artinya, hampir putus asa, dan hampir mengakhiri hidup. Selama satu bulan itu dia mengalami gangguan kesehatan, gangguan jiwa, mental dan psikisnya terganggu. Selama satu bulan itulah Indra dipasung, hingga merasakan sesaknya menjalani hidup di jeruji besi Polres Sumenep.

“Itu semua karena saya mengalami gangguan jiwa dan tidak bisa mengontrol diri,” ceritanya, Jumat (24/05/2024).

MIRIS: Kondisi dapur dan kamar mandi mahasiswa bernama Indra Arief Kurniawan.

Tidak mau hidup begitu saja, takdir harus dilawan. Masa lalu boleh suram, masa depan harus diukir. Pada saat itulah Indra bertekad untuk mencari penghasilan. Pertama yang jadi incaran adalah merantau ke Ibu Kota, kerja menjadi kuli toko sembako. Tiga bulan setelahnya dia pulang untuk sekadar kembali ke rumah warisan mendiang ibunya.

Puji Tuhan setelah tiga bulan dia bekerja, sudah bisa membeli handphone untuk bisa berkomunikasi dengan sanak saudara yang jauh dan teman SMA, sembari menitipkan hidup.

Tiga bulan kerja di ibu kota, sisa uang hanya cukup untuk bertahan hidup selama satu minggu. Indra berpikir lagi untuk bekerja. Tetangganya menawarkan untuk bekerja di Jombang selama 1 bulan.

“Di sana saya kerja menjual peralatan pramuka, saat itu perjanjian dengan juragan saya satu bulan saya digaji 1 juta, tapi ketika sudah sampai satu bulan di sana saya hanya diberi 500 ribu, karena dagangan saya tidak laku, satu barang pun tidak ada yang membeli, pada saat itu lah saya pulang ke rumah dengan membawa uang hanya 500 ribu,” kenangnya.

Di usia yang masih muda, semua pekerjaan telah Indra rasakan, mulai dari kuli bangunan, hingga sopir ambulan. Dari sinilah dia mempunyai keinginan untuk berkuliah, karena dia sadar banyak pengalaman buruk ketika bekerja, hanya ditipu dan dimanfaatkan orang lain.

“Dari sini lah saya mempunyai niat harus berkuliah, mau tidak mau saya harus melanjutkan pendidikan, agar saya bisa mendapatkan banyak relasi dari senior yang ada di kampus, siapa tahu dengan saya berkuliah saya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak,” harapnya.

Menjadi mahasiswa tidak seindah yang menjadi harapan. Dia harus menelan ludah, karena sulitnya mendapatkan akses beasiswa. Namun dia sadar, sebagai mahasiswa dia memiliki kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat mengikuti perkuliahan.

Permasalahan yang Indra alami, adalah betapa sulitnya ketika harus membayar biaya heregistrasi per-semester. Yaitu sebesar 1.700.000 di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) STKIP PGRI Sumenep.

“Saya bisa bertahan hidup saja sudah beruntung, dimana saya harus mendapatkan uang sebanyak itu, saya hanya hidup sendiri dan tidak ada yang menanggung biaya hidup saya,” keluhnya.

Meski demikian, Indra tetap memantapkan tekad untuk kuliah, walaupun itu pilihan yang berat, sebab dia harus siap untuk menanggung biaya kuliah seorang diri. Dia harus memutar otak dan berpikir untuk membayar semua biaya itu. Di tengah prosesnya ini ternyata jauh dari prediksi, sebab untuk berkuliah tidak hanya butuh tekad yang kuat tetapi materi yang mumpuni. Parahnya lagi, tunggakan Indra selama 3 semester mencapai 10.800.000 di website data akademik (Siakad).

“Kalau dihitung dari semester 1 sampai semester 3, hanya sebesar 5.100.000. Sedangkan di siakad 10.800.000. Terus yang jadi pertanyaan saya, kok bisa sampai 10.800.000, dapat dari mana 5.700.000 nya,” ucapnya.

Buntut dari tunggakan itu, dia mengaku dilempar kesana kemari untuk kejelasan nasibnya di kampus, mulai dari keuangan dilempar ke Waka II Bidang Administrasi Umum (BAU), pada akhirnya masalah itu tidak selesai hingga tidak tercatat sebagai mahasiswa aktif dan tidak masuk absensi kelas karena belum divalidasi oleh keuangan. Padahal untuk menyetorkan laporan pembayaran Indra sudah mencicil tunggakan tersebut sebesar 500.000,-. Indra mengaku, harus seperti ini nasibnya berkuliah di kampus yang senantiasa membiarkan mahasiswanya kebingungan, administrasi yang rumit dan arahannya yang tidak solutif.

“Pada dasarnya saya merasa kebingungan, dengan siapa dan cara apa saya untuk mengurangi beban yang saya tanggung saat ini,” keluhnya.

Indra juga mengaku, setiap kali menghubungi orang-orang yang sekiranya dapat membantunya dalam menyelesaikan permasalahan akademiknya, malah seakan saling empar tanggung jawab, mulai dari keuangan, administrasi umum dan juga Dosen Pembimbing Akademik (DPA). Mereka seakan-akan tidak peduli jika ada mahasiswa yang bermasalah di bagian keuangan.

Kilas balik perjalanan Indra memilih STKIP PGRI Sumenep sebagai kampusnya, adalah ketika ada banyak kesempatan baginya untuk memperoleh beasiswa. Namun lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak padanya. KIP kuliah, beasiswa yatim, dan beasiswa lain yang ada di kampus satupun tidak ada yang lulus.

“Dari sinilah saya harus mencari beasiswa di luar kampus, karena di kampus saya sendiri sudah tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan beasiswa,” tandasnya.

Reporter: Zainuddin

Editor: Iqbal

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here