Mitos Bhuju’ Tamoné

0
337
Ilustrasi Bhuju' Tamoné. Sumber foto : Mhamzan2004, Deviyanti, & Pngtree

Mitos Bhuju’ Tamoné

Oleh : Khodijatul Kubro

Desa Batuan Kecamatan Batuan merupakan salah satu Desa di Kabupaten Sumenep, Madura. Terletak ±3 km arah barat dari Alun-alun Kota Sumenep. Desa tersebut memiliki tradisi unik, yakni menggantung tamoné (ari-ari) di batang pohon kesambi dan asam dekat Asta Paregi yang kerap disebut dengan Bhuju’ Tamoné . Bhuju ‘ dalam bahasa Indonesia adalah makam yang dikeramatkan. Sedangkan Tamoné dalam bahasa Indonesia adalah ari-ari. Bhuju’ Tamoné adalah tempat keramat dengan pohon kesambi dan asam yang sangat besar dan terdapat makam di sampingnya. Kekuatan mistik di Asta Paregi atau Bhuju’ Tamoné sulit diterjemahkan dengan logika. Asta (pemakaman) para sesepuh desa setempat itu ramai dikunjungi pasangan suami istri (Pasutri) yang kesulitan untuk mempunyai anak (keturunan).

Bhuju’ Tamoné yang dinilai bisa memberikan keturunan

Bhuju’ Tamoné dipercaya oleh masyarakat setempat dapat memberikan keturunan pada pasangan suami istri yang sulit memiliki anak atas izin Allah Yang Maha Kuasa dengan cara berziarah dan bernazar di tempat. Memiliki keturunan merupakan hal yang didamba-dambakan oleh setiap orang yang sudah berkeluarga. Akan tetapi pada kenyataannya, meskipun telah berkeluarga dalam kurun waktu yang relatif lama terdapat sebagian orang yang belum juga memiliki anak sehingga pasangan suami istri tersebut akan berupaya dalam melakukan segala cara untuk mendapatkan keturunan.

Mendapatkan anak dengan cara berziarah dan bernazar di kuburan keramat Bhuju’ Tamoné merupakan salah satu cara yang diambil oleh pasangan suami istri warga setempat. Tentu dalam pelaksanaannya terdapat beberapa ritual-ritual yang harus dilakukan oleh setiap pasangan suami istri. Hal yang utama adalah niat atau nazar dengan cara berkehendak atau berkeinginan untuk datang langsung ke kuburan keramat yang bernama Zainuddin (misalnya) ataupun hanya sekedar berniat atau nazar dari rumah sendiri.

Adapun niat atau nazar yang dilakukan secara langsung lumrahnya pasutri berdoa, membaca tahlil, atau mengaji yasin di kuburan keramat tersebut dengan maksud dan harapan untuk mendapatkan anak. Masyarakat yang datang secara langsung akan diberikan kembang dari kuburan keramat (Bhuju’ Tamoné) yang berupa irisan daun pandan yang telah didoakan oleh penjaga atau juru kunci Bujuk Tamoni. Daun pandan yang diberikan kepada pengunjung kemudian dicampur dengan segelas air lalu diminum di waktu mahgrib.

Awal mula kepercayaan masyarakat terhadap Bhuju’ Tamoné

Awal kepercayaan terhadap Bujuk Tamoni berasal dari kisah yang melegenda di lingkungan masyarakat. Dahulu kala terdapat pengantin wanita yang kabur karena tidak mau dinikahkan dengan pengantin laki-lakinya. Saat di jalan tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras. Ia berteduh dibawah pohon beringin yang tanpa sepengetahuannya di bawah pohon tersebut terdapat santri yang juga berteduh. Keberadaan dirinya akhirnya terungkap oleh pengantin pria. sontak pengantin pria tersebut merasa cemburu. Disangkanya, pengantin wanita memang sengaja janjian untuk bertemu disana dengan pria lain. Seketika, santri dan pengantin wanita dibunuh di tempat. Namun ironisnya darah yang mengalir dari tubuh korban mengeluarkan wangi yang sangat harum. Wangi tersebut yang pada akhirnya menandakan bahwa keduanya tidak bersalah.

Beberapa saat setelah kejadian pembunuhan tadi, mayat keduanya ditemukan masyarakat sekitar. Mayat tersebut diproses secara syariat lalu dikuburkan disana pula. Pada suatu saat terdapat orang yang berziarah di kuburan ini. Orang tersebut ternyata mengalami masalah dalam melahirkan. Namun setelah lahir tiba-tiba anaknya meninggal, sehingga ari-ari bayi tersebut diletakkan ditempat. Setelah itu orang tersebut hamil kembali dan melahirkan bayi dengan selamat. Oleh karenanya sampai saat ini kuburan kedua korban pembunuhan tersebut diberi nama Bhuju’ Tamoné.

Menurut Halima (penjaga Bhuju’ Tamoné) kuburan keramat ini berbeda dengan kuburan pada umumnya. Semisal jika seseorang melangkahi kuburan lain merupakan tindakan yang tidak baik, maka dalam konteks Bhuju’ Tamoné adalah sebaliknya. Bayi yang telah lahir karena ritual sebelumnya harus ditimang diatas kuburan Bhuju’ Tamoné. Hal ini boleh dilakukan karena bayi tersebut masih belum memiliki dosa (suci). Halima juga mengatakan bahwa ritual melangkahi kuburan memang harus dilakukan karena ari-ari bayi masih ada di sekitar Bhuju’ Tamoné. Ari-ari tersebut harus diletakkan diantara pohon asam dan kosambi dengan cara digantung. Hal ini bertujuan agar kelak si bayi menjadi anak yang sukses serta tidak lupa dengan nenek moyangnya. Selain itu pasutri juga menyerahkan jajanan pasar yang berupa beras, kopi, gula, kelapa dan rempah-rempah lainnya kepada penjaga Bhuju’ Tamoné. Jajanan pasar yang disebutkan tadi nantinya akan diberikan kepada orang lain oleh penjaga Bhuju’ Tamoné sebagai tasyakuran bayi. Dari tasyakuran tersebut nantinya bayi juga akan mendapatkan doa dari orang lain.

Ritual yang biasa dilakukan saat mengharapkan keturunan 

Tamoni yang digantung di pohon memiliki makna atau harapan tersendiri. Digantungnya tamoni diharapkan agar bayi kelak tumbuh menjadi anak yang memiliki derajat yang tinggi. Tujuan lain dari digantungnya tamoni supaya tidak dimakan oleh binatang buas seperti anjing.

Ritual minum dan mandi air kembang juga penting dilakukan. Dalam ritual minum air kembang, pasutri akan mengambil kembang yang telah diberikan oleh penjaga makam lalu dicampur dengan segelas air. Sebelum meminumnya pasutri membaca shalawat sebanyak tiga kali terlebih dahulu. Sedangkan dalam ritual mandi kembang caranya sama, akan tetapi kembang tersebut dicampur dengan air setengah dayung. Sebelum disiramkan ke seluruh badan pasutri juga diharap membaca sholawat sebanyak tiga kali. Kembang dari sisa yang telah diminum dan dibuat mandi itu tidak boleh dibakar hanya boleh dibuang ke kamar mandi atau ke tempat-tempat yang aman. Kembang tersebut dianggap jamu bagi pasangan suami istri yang ingin memiliki anak. kembang tersebut memiliki arti bahwa dengan kembang tersebut diharapkan pasangan suami istri dapat segera memiliki anak.

Pembakaran dupa juga merupakan sebagian ritual yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Dupa dibakar dan asapnya diusapkan ke seluruh bagian wajah. Hal ini dilakukan setelah mandi kembang. Dupa tersebut memiliki arti sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan yang Maha Esa supaya cepat terkabul apa yang diinginkan oleh pasangan suami istri, yakni dikaruniai anak.

Dari “Mitos” hingga menjadi “Tradisi”

Kepercayaan masyarakat pada –Mitos– Bhuju’ Tamoné memasuki level selanjutnya. Pasalnya, masyarakat sampai mentradisikan hal yang bersifat mistika yang bahkan belum tentu kebenarannya. Dalam artian, mitos tersebut berubah menjadi tradisi dan telah menjadi sebuah norma yang telah divalidasi oleh masyarakat Batuan. Kepercayaan terhadap Bhuju’ Tamoné yang dapat memberikan anak dengan melakukan beberapa ritual yang harus dijalani telah menjadi aturan yang sah secara kelembagaan masyarakat setempat. Secara tidak langsung ritual tersebut menjadi wajib dilakukan bagi pasangan suami istri yang ingin memiliki anak. Mereka harus mengikuti aturan-aturan yang ada dalam Bhuju’ Tamoné yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.

Stigma yang dihasilkan atau dibuat oleh masyarakat Batuan mengenai kepercayaan Bhuju’ Tamoné dapat memberikan keturunan atau anak dikuatkan kembali ke dalam pikiran masyarakat. Sehingga masyarakat khususnya Pasutri yang sulit memiliki anak sontak akan berfikir secara sadar maupun tidak dalam mempercayai Bhuju’ Tamoné.

Secara tidak langsung hal itu merupakan bentuk sosialisasi tentang Bhuju’ Tamoné yang dilakukan secara terus -menerus dan turun-temurun yang akan dipercayai sampai sekarang dan dipercayai pula pada generasi selanjutnya melalui anak cucunya. Kepercayaan semacam ini tidak luntur tergerus zaman karena sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat di Desa Batuan, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep melalui proses sosialnya sendiri yang dilakukan sehari-hari dan disepakati bersama.

Menurut sudut pandang saya, mitos Bhuju’ Tamoné memiliki nilai yang positif jika dilihat dari sudut pandang ekologis dan sosial. Mitos ini mampu menumbuhkan rasa hormat terhadap alam dan lingkungan, sesuatu yang sangat relevan dalam menjaga rasa keingintahuan lingkungan. Dengan memahami dan menghargai mitos ini, masyarakat dapat terus menjaga nilai-nilai tradisi yang juga berperan dalam perlindungan lingkungan dan warisan budaya lokal.

 

Penulis bernama lengkap Khodijatul Kubro. Lahir di Sumenep, Madura. Ia alumni SMA Negeri 2 Sumenep. Kini penulis melanjutkan studinya di STKIP PGRI Sumenep Prodi PGSD.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here