Dibalik Gelar Seorang Dosen

0
942
Sumber Gambar : https://yusufchabibi.wordpress.com

Oleh : Moh. Busri*

Selamat pagi Indonesia, pagi ini hari sungguh cerah. Tentu sangat menyenangkan bagi para pemuda untuk beraktifitas walau hanya sekedar untuk menyambung mimpi kemarin yang sempat hinggap dalam kepalanya. Mengutip kata yang pernah dilontarkan oleh Soe Karno “Bermimpilah setinggi mungkin, agar jika dirimu terjatuh maka akan jatuh diantara bintang-bintang”. Dari hal itu maka tidak heran jika anak muda saat ini seringkali menambah jam tidurnya lebih lama, mungkin dirinya sedang berusaha untuk bermimpi setinggi mungkin. Ah, sudah lah hal itu tidak terlalu penting untuk dipersoalkan lebih panjang, sebab ada yang lebih menarik untuk kita bahas dalam tulisan ini. Namun sebelum para pembaca sekalian melanjutkan bacaanya alangkah baiknya menyediakan secangkir kopi terlebih dahulu untuk menemani para pembaca sekalian agar rasanya lebih nikmat.

Cerita ini hanya sekedar ocehan belaka yang tidak pernah terjadi pada dunia nyata, yakin lah!. Tadi pagi-pagi sekali saya dibangukan oleh teman saya yang baru saja mendapat gelar mahasiswa. Entah apa tujuannya tiba-tiba dia menanyakan terkait organisasi. Lebih jelasnya pertanyaan yang dia ajukan seperti ini “kak, menurut kakak aku harus aktif di organisasi nggak?”. Mendengar pertanyaan itu langsung saja saya jawab bahwa menjadi mahasiswa akan sangat rugi jika saja tidak aktif di organisasi. Namun setelah setelah itu diapun kembali menimpal jawanaban yang saya utarakan, “tapi bagaimana semisal dikemudian hari kuliahku terbengkalai gara-gara aku sibuk aktif dalam organisasi”. Cukup lama saya terdiam mencari sebuah jawaban yang sekiranya pas untuk disampaikan, hingga pada akhirnya sayapun menjawab “sudahlah jalani saja dulu nanti kamu akan paham sendiri dengan jawaban dari pertanyaanmu itu”.

Menjadi mahasiswa memang sangat perlu untuk aktif disebuah organisasi, sebab pengalaman yang diperoleh dalam kelas tidak akan sempurna jika saja tidak diasah kembali dalam organisasi, bahkan seringkali tanggung jawab dan peran mahasiswa hanya dapat ditemuka dalam diskusi yang dilakukan pada sebuah organisasi kemahasiswaan. Namun juga tidak heran jika mahasiswa hari ini sudah mulai tidak percaya terhadap wacana yang disampaikan oleh mahasiswa organisatoris. Sebab tidak sedikit diantaranya, terdapat mahasiswa organisatoris yang hanya mampu aktif dalam kegiatan organisasi dan menggadaikan kuliahnya. Biasanya mahasiswa yang demikian akan menyampaikan bahwa sebagai aktifis tanggung jawab utamanya adalah menjadi control social sehingga persoalan akademik harus dipikirkan kemudian.

Tidak salah, jika mahasiswa memiliki tanggung jawab sebagai control social bahkan sangat benar bahwa hal tersebut memang tanggung jawab utamanya. Akan tetapi jika persoalan akademik harus digadaikan, bagi saya harus dipikirkan kembali. Sebab logikanya akan jadi apa negri ini jika dikontrol oleh orang-orang yang minim akan pengetahuan. Bahkan lebih ironisnya lagi saat saya jumpai beberapa kakak tingkat mengatakan bahwa membaca buku tidak penting dan yang lebih penting adalah membaca keadaan. Andaikan saja orang yang mengatakan hal itu dapat teruji penyampaiannya maka mungkin sedikitnya dapat dipercaya, sayangnya kebanyakan orang-orang yang berkata demikian adalah orang yang minim sekali akan pengetahuan hingga kredibelitas ucapannya pun sangat diragukan.

Pernah tidak para pembaca sekalian, khususnya mahasiswa mendengar ungkapan yang diutarakan oleh masyarakat pelosok bahwa setelah anaknya lulus kuliah maka akan mendapatkan pekerjaan?. Jika iya, maka dunia yang kita jalani dapat dikatakan sama persis. Namun sejauh ini saya menjadi mahasiswa, bukan hal itu yang dapat saya lihat, melainkan dunia harapan yang semakin gelap tanpa arah. Bagaimana tidak, sementara diantara dosen-dosen yang mengajarkan materi perkuliahan pada kita terdapat oknum-oknum yang mementingkan kepentingannya sendiri sehingga tanpa sadar kita sebagai mahasiswa hanya dijadikan bahan proyek pendidikan. Bukan bermaksud mengadu domba, silahkan lihat saja sendiri bagaimana kebenarannya. Mahasiswa akan dituntut untuk dapat menyelesaikan tugas yang sangat banyak tanpa memikirkan output setelahnya akan seperti apa, maka akibat dari hal tersebut mahasiswa akan banyak yang mengambil jalan pintas dengan cara mengcopy paste dari internet untuk memenuhi tanggung jawab tugasnya yang harus segera diselesaikan. Al hasil mahasiswa yang katanya sebagai generasi intelektual akan tetap bodoh tidak tertolong.

Industrialisasi pendidikan bukanlah sebuah pembahasan yang baru, maka dari itu mungkin dalam tulisan ini tidak perlu terlalu panjang lebar membahas hal tersebut. Pada intinya pengelola kampus termasuk dosen didalamnya memiliki kepentingan pribadi yang sangat besar sehingga strategi yang digunakan untuk melancarkan keinginannya itu akan dilakukan dengan berbagai macam cara. Bukan berarti dosen saat ini tidak ada yang mejalankan tugasnya sebagaimana mestinya, hanya saja sudah hapir tidak murni. Ya, ibaratkan berladang menggunakan pupuk kimia, hasilnya bagus akan tetapi tunggu saja hari esok apa yang akan terjadi. Tanah yang dulunya subur maka lambat laun akan menjadi gersang dan sulit dijadikan tempat bercocok tanam. Begitu juga dengan pendidikan hari ini, yang dengan kecanggihan internet digunakan sebagai solusi strategis untuk menyelesaikan tugas dari dosen yang kian mendesak, akan tetapi lihatlah hari esok maka pemuda Indonesia akan dilanjutkan oleh generasi tidak berpengetahuan sebab sudah dari hari ini budaya literasi secara tidak langsung dijauhkan dari ladang suburnya (pemuda).

Minimnya literasi didunia mahasiswa dapat dilihat dari sejauh mana dirinya mencintai buku-buku. Hampir setiap hari saya mencoba untuk memperhatikan teman-teman mahasiswa dikampus saya, apakah mereka membawa buku?. Jawabannya 0,1% dari 100 mahasiswa tidak membawa buku. Selain itu, berapa banyak dosen yang dosen yang membawa buku pada saat mengajar didalam kelas?, jawbannya sama persis seperti yang diatas. Jika sudah demikian maka hal itu dapat dikatakan bahwa kampus hanya merupakan gerbong gelap yang selalu menjajikan sinar keterangan tanpa bayang-bayang, alias mustahil.

Ada sebuah kejadian yang sangat lucu, pernah saya temukan beberapa dosen yang melarang mahasiswanya untuk aktif dalam sebuah organisasi. Sampai saat ini masih belum saya temui jawabannya. Tapi yang jelas, kebobrokan budaya pendidikan hari ini hanya dapat terselesaikan dalam berproses pada sebuah organisasi. Menjadi mahasiswa organisatoris bukan berarti harus menggadaikan kuliahnya, melainkan mengasah pengalamannya yang didapat didalam kelas pada sebuah organisasi sehingga materi yang didapatnya mampu teruji kredibelitasnya. Berorganisasi tidak cukup hanya sekedar mencantumkan nama, akan tetpai harus mampu aktif didalamnya  agar proses yang dilaluinya dapat membuahkan hasil yang jelas. Beberapa materi yang didapat dari dosen harusnya didiskusikan dalam sebuah organisasi dengan kajian fakultatif, dan yang perlu diingat bahwa diskusi bermutu harus disertai oleh referensi dari buku hasil bacaannya. Maka seperti itulah kira-kira bagi saya budaya pendidikan yang baik, yaitu dengan membaca, diskusi, dan menulis. Tidak hanya semerta-merta dihadapkan pada sebuah tugas, sedangkan materi yang diberikan pada mahasiswa tidak jelas arahnya.

Salam literasi, dengan membaca kita dapat mengenal dunia dan dengan menulis kita dapat dikenal oleh dunia.

*Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Semester VII

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here