3 Alif Lam Mim: Media Sangkakala, Kita Mati Rasa

0
989
Ilustrasi by Kaskus.co.id

Oleh: Akhidatul Avida

Agustus adalah bulan yang sakral untuk seluruh rakyat Indonesia, momentum paling bersejarah dan paling fenomenal terjadi. Suara lantang Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia, menandakan bahwasanya Indonesia telah merdeka dari penjajahan.

Menyakralkan bulan ini dengan serangkaian acara yang berkaitan dengan euforia kemerdekaan dan salah satu di antaranya rekflesi kemerdekaan dengan konsep yang beragam. Seperti halnya yang dilakukan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Retorika STKIP PGRI Sumenep dalam merefleksikan kemerdekaan Indonesia yang dikemas dengan Nobar (Nonton Bareng), tentu dengan harapan timbul rasa nasionalisme yang tinggi pada bangsa Indonesia.

Pilihan film yang ditonton bersama jatuh pada 3 Alif Lam Mim, film keluaran tahun 2015 mampu memberikan berbagai kesan dan pandangan yang jauh dari kata sedarhana untuk dicerna, film berdurasi 2 jam 5 menit mampu membuat penonton tersihir dengan kisah tiga tokoh pemeran utama. Memang bukan film baru, tetapi kisah yang ada, mampu memberikan beberapa pandangan untuk kita mengetahui alur sistem yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, radikalisme liberal yang tergambar dalam film ini sangat kompleks untuk membuat otak kita berpikir keras.

Dari beberapa artikel di mesin penulusuran, film ini sempat dicekal. Dikutip dari dictio.id, terdapat beberapa alasan yang cukup signifikan sehingga pencekalan film ini cukup logis karena memikirkan dampak yang ditimbulkan setelah ditayangkan ke publik. Bisa saja beberapa orang dengan sudut pandang sempit melihat penggambaran dalam film ini membuat mereka salah paham dan berbuat yang tidak-tidak. Salah satunya tentang paham yang dianut dalam film itu adalah liberalisme, hak asasi manusia harus di atas segalanya karena bahan dagang dari paham liberal sendiri adalah kebebasan. Namun hal ini jelas bertentangan dengan ideologi kita, ideologi pancasila.

Apa kabar jika kita terlalu tegang dan menganggap hal itu suatu pembenaran?, selain itu penerapan paham liberal pada film itu dianggap cukup menyimpang karena situasi yang tergambar dalam film itu kebabasan tetap menjadi olok-olok bahan propaganda pemimpin yang otoriter.

Mengulas film cukup menantang karena membutuhkan rasionalisasi yang ekstra, mengingat film itu mengusung cerita di tahun 2036 yang notabene masih jauh di masa depan. Keluar dari alur cerita dan menggaris bawahi beberapa percakapan yang menurut saya cukup menarik untuk disoroti lebih mendalam dan saya rasa cerminan yang diberikan cukup relevan untuk saat ini. Artinya, tidak perlu menunggu masa nan jauh di sana agar menjadikan sesuatu itu hal yang nyata.

Tokoh Lam yang berprofesi sebagai jurnalis dengan idealisme tinggi mempertahankan citra seorang jurnalis untuk mengungkap setiap tabir kebenaran dan menjadi seorang yang tak main-main jika berhadapan dengan sesuatu yang menyimpang. “Sekarang bukan lagi waktunya berperang dengan senjata, melainkan dengan media” kurang lebih isi percakapannya seperti itu. Mengapa hal ini patut kita soroti? Lagi-lagi ketika dihadapkan dengan sesuatu kebenaran yang absolut, mutlak maka hasilnya nihil apabila dihadapkan dengan persoalan politik.

Lam menjadi jurnalis di negara dengan paham liberal yang menganggap kebebasan termasuk hak asasi manusia di atas segalanya, tetapi masih bisa terjebak dalam sumur kematian, yang mana untuk menguak kebenaran dia harus merelakan dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya dalam bahaya. Itu di dalam film, namun saya menganggap hal ini cukup relevan ketika dikaitkan dengan realitas.

Idealisme pers dipertaruhkan

Dengan adanya dikte yang seperti itu, saat ini keberadaan media sebagai senjata memang benar. Tetapi bukan untuk menumpas ketimpangan atau penyimpangan, malah membuat idialisme seorang pers berada di ambang garis yang sangat tipis, apabila dia kokoh dengan pendiriannya maka nyawa taruhannya. Patut diakui media saat ini memiliki peran yang sangat penting, oleh sebab itu pentingnya media digunakan sebagai alat untuk mewujutkan kepentingan tertentu, dan dari sana juga sesuatu yang murni bisa diolah, dikemas hingga kemurniannya berubah menjadi rasa yang diinginkan. Siapa yang berperang dan siapa yang akan diperangi sudah terkonsep dengan baik.

Payung hukum pers bukan untuk pers idealis

Redaksi yang disampaikan termatikulasi dengan baik tinggal menerka-nerka saja tragedi milik siapa, yang jelas untuk pers yang murni ingin mengungkap kebenaran akan tumbang dan kalah dengan kuasa. Media subur dengan buzzer punggawa kekuasaan maka untuk para pembawa kebenaran yang bertentangan dengan redaksi para buzzer akan tumbang dengan segala tuduhan dan tuntutan. Situs web advokasi.aji.id menyajikan data lengkap mengenai ancaman, penganiayaan, bahkan penculikan kepada jurnalis hal ini terjadi karena mereka percaya kebenaran yang akan disampaikan sangatlah berarti, namun sayangnya yang dipertaruhkan tidaklah sedikit, maka jangan heran dan jangan tanyakan hukum mana yang melindungi mereka, karena tetap saja hukum tidak berlaku untuk pers idealis.

Media panggung lakon para elit politik

Tak tanggung-tanggung untuk berperang mereka bisa menyiapkan 1000 pasukan buzzer untuk menggiring opini, pengalihkan isu, mengkambing hitamkan, bahkan menutupi kebejatan terhadap rakyatnya. Maka inilah peran media yang sesungguhnya. Memang benar era perang saat ini bukan lagi dengan senjata pada umumnya, melainkan perang dengan menggunakan media untuk melindungi diri dan melawan musuh. Untuk pers yang masih menyerukan kebenaran diharap selalu siap untuk menghadapi berbagai bentuk kecaman, tuduhan, hingga kehilangan yang berharga. Rakyat tuli, bisu, buta akan keberanan, karena produk yang disampaikan media bukan lagi tentang kebenaran, melainkan selamatan yang mereka rayakan dari penjaharan yang amoral.

Tidak semua media akan menggadaikan idealismenya, namun saat ini rasanya sudah bebal dengan penggiringan opini, pengalihan isu, hingga adu domba yang disajikan, sehingga lupa sebagaimana rasanya memiliki sudut pandang berbagai sisi tak mudah menghakimi. Patut diakui menggunakan ketidakwajaran untuk melawan atau menjatuhkan lawan memang lebih epik dibandingkan harus menyerang dengan sebilah pedang berhadap-hadapan, luar biasa bukan?

 

* Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI), Semester III.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here