PAGI YANG PERGI, PAGI YANG KEMBALI

0
2652
Ilustrasi by Id.pinterest.com

Oleh : Aprili Efidayanti

Fajar mulai merangkak, ayam berkokok menandakan bahwa pagi telah tiba, kembali kulihat hamparan langit yang sepertinya akan cerah pada hari itu. Entahlah aku selalu suka pagi, kurasa suasana pagi tidak kalah dengan senja. Suara burung-burung kecil, embun pagi, dan mentari yang baru saja keluar dari peraduan menurutku tidak kalah indahnya. Kalau kita bisa menikmati pagi lebih awal, mengapa harus menunggu senja? Sembari menyambut pagi, aku awali dengan membuka jendela kamarku. Seperti biasa, dari sana aku melihat kursi kembali bergoyang. Rupanya, ada sosok yang lebih dulu menyambut pagi dari pada diriku, itu adalah ayahku. Kalau kulihat sejak dulu, ayah selalu tidak pernah melewatkan suasana itu, ia selalu mengawali semangatnya dengan pagi. Mungkin dengan cara itulah ia bisa mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa banyak hal yang bisa kita pelajari dari pagi.

***

Namaku Nia. Hari-hari aku lewati bersama ibu, ayah, kakakku Akbar dan seorang adikku Nofal namanya. Kakakku sudah lulus SMA, aku sendiri saat ini masih menempuh kelas 2 SMA, dan adikku masih kelas 4 SD. Sebelum aku sebesar ini, aku ingat betul bagaimana dulu hingga saat ini orang tuaku mendidikku. Sebelum sampai saat ini, setiap pagi selalu kudengar ayah teriak memanggil namaku, “Niaa ayo bangun nak kamu belum sholat subuh” teriak ayahku. Sembari kudengar perlahan langkahnya menuju ke arahku. Kadang masih ku abaikan sambil kembali menarik selimutku seolah tidak mendengar. Sesampainya di dekatku, suara ayah tiba-tiba mengecil, lembut. “Bangun nak, jangan kalah dengan pagi, ayo sholat dan bersiaplah ke sekolah”. Akhirnya dengan langkah yang sedikit lemas dan malas aku pun beranjak, karena jika tidak, maka ayah akan menunggu dan terus menunggu sampai aku benar-benar terbangun. Begitu pula dengan kakak dan adikku, cara yang sama dilakukan oleh ayah agar anak-anaknya tidak melewatkan sholat subuh dan menyambut pagi lebih awal.

Terkadang jika masih ada waktu, ayahku masih bisa menyempatkan diri untuk mengobrol dan bercerita dengan kami. Tentang masa depan kami. Aku dengan sekolahku, juga adikku dengan sekolahnya, sedang kakakku sepertinya memang harus mengalah tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena kondisi ekonomi. Dia lebih mengalah bekerja terlebih dahulu mencukupi kebutuhannya sendiri, syukur suatu saat dapat kuliah dengan hasil jerih payahnya sendiri, yang terpenting saat ini adalah masa depan adik-adikku, begitu ujarnya. Walaupun belum sempat berkata apa-apa, sepertinya ayah dan kakakku bersepakat untuk melanjutkan aku ke jenjang yang lebih tinggi setelah SMA. Begitulah kiranya obrolan ringan di setiap paginya.

Hari-hari aku lalui dengan membiasakan diri dengan semua kebiasaan orang tuaku, kadang meski aku sudah sebesar ini, cara mereka yang lembut dan penuh kasih sayang masih membuatku lebih sering bermanja-manja dalam banyak hal. Aku tahu, sejak pagi ayah dan ibuku seperti bekerjasama dalam segala hal, termasuk agar kami anak-anaknya selalu terdidik dengan penuh kasih sayang. Sejak pagi, ayah membangunkan kami, sementara ibu, mengurus semua keperluan kami, keperluan sekolah aku dan adikku, menyiapkan makanan, membantu mengerjakan PR adikku. Dari pagi hingga petang tiba, begitu seterusnya. Walau demikian, tidak pernah ku dengar kata mengeluh dari mereka. Kasih sayangnya tetap utuh kepada kami semua.

Suatu hari dengan suasana pagi, tiba-tiba aku terbangun seolah ada yang membangunkanku, tapi kutahu itu bukan ayahku. Sebelum beranjak ke kamar mandi aku tertegun. Dalam hatiku “Kemana ayah kok tumben hari ini tidak membangunkanku, mungkin ayah sudah bosan karena setiap kali membangunku, aku selalu bermalas-malasan.” Pikirku. Lalu bergegaslah ke kamar mandi, setelah sholat dan bersiap untuk berangkat sekolah, tidak sengaja aku lewat depan kamar adikku. Ternyata adikku juga belum bangun. Bergegas kubangunkan adikku karena sudah hampir siang. Nanti bisa-bisa dia terlambat masuk sekolah. Kembali terlintas dalam pikiranku “Kemana ayah?, ternyata bukan hanya tidak membangunkanku tapi juga tidak membangunkan adikku”. Seketika suasana pagi di dalam rumah berubah dalam sekejap. Lalu kuambil sepatuku untuk kupakai depan teras, sambil memasang sepatu, kulihat di meja seperti biasa sudah ada bekalku dan adikku, serta ayah yang menunggu kucium tangannya untuk pamit berangkat sekolah. Tapi begitu aneh, sungguh hari ini begitu tidak seperti biasanya. Tidak ada apapun di meja dan kulihat kursi goyang ayah juga tampak kosong.

Lalu kemana ibuku, yang biasanya menyiapkan sarapan, begitupun ayahku yang biasanya membangunkanku dan menunggu depan teras rumah?. Aku terpikir untuk mencari ibu dan ayahku di ruangan lain untuk sekedar berpamitan. Baru saja melewati pintu masuk ruang tamu, aku mendengar suara tangisan dari dalam kamar ayah, dan sepertinya itu adalah tangisan ibuku. Langkahku semakin pelan, aku ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi?. Dari balik pintu tiba-tiba adikku mengagetkanku, “Duarr hahaha kenapa ngintip ngintip kayak maling. Eh kak, bekalku mana kak?”. “Ssttttt, Nofal berisik sekali. Hari ini jangan bawa bekal dulu ya dik. Nanti kamu beli di sekolah saja,” sambil ku beri sisa uang sakuku kemarin. Kulihat wajah Nofal tidak begitu senang karena tidak membawa bekal hari ini. Tapi kemudian ia bergegas pergi.

Kemudian kembali kudengar tangisan itu di balik pintu kamar ayahku, untuk menutupi rasa penasaranku alangkah baiknya jika aku masuk dan bertanya langsung apa yang sedang terjadi sebenarnya. Perlahan ku ketok pintunya, ku buka pelan-pelan sambil memanggil ibu “Buuu, apa yang sedang terjadi?”. Tak ada jawaban dari ibuku. Kulihat ibu mencoba berpaling dan berusaha menyeka air matanya, seolah tak terjadi apa apa. Lalu ku ambil tangan ibu untuk pamit, kemudian tangan ayahku. Seketika aku kaget sekujur tubuhku, seolah ada yang tidak biasa dari ayahku, tangan ayahku gemetar, pandangannya kosong dan bibirnya yang kelu. “Ibu, ayah kenapa ibu? Mengapa tangan ayah gemetar, kenapa ayah pucat sekali seolah tak mampu berbicara, bahkan satu patah katapun”. “Pergilah Nia, ayah baik-baik saja, ayah hanya butuh istirahat, pergilah nanti kamu terlambat”. Ucap ayahku yang tiba-tiba saja bicara. Mendengar ayah berbicara aku seperti sedikit lega, “Baiklah Nia berangkat sekolah dulu, Assalamulaikum”. “Wa’alaikumussalam” ucap ibuku. Dengan langkah ragu dan pikiran yang terus mengira-ngira, berangkatlah aku, karena memang sudah hampir jam tujuh.

Mengapa waktu begitu lama, melewati mata pelajaran demi mata pelajaran juga terasa lama sekali, ingin rasanya aku cepat pulang dan sampai di rumah. Entahlah seperti ada yang menungguku untuk segera pulang. Tidak lama kemudian, bel sekolah berbunyi, dengan penuh antusias akhirnya cepat-cepat aku bereskan buku dan segera pergi.

Kulihat jalanan begitu ramai, tidak seperti biasanya. Aku pun jadi tidak cepat untuk sampai di rumah. Lalu mengapa, sesampainya di jalan dekat rumah juga begitu ramai, ini benar benar tidak seperti biasanya. Lalu kulihat, adikku Nofal menangis tersedu sambil digendong pamanku. Belum sempat bertanya, tiba-tiba ada yang menghampiriku dan memelukku erat sekali sambil mengangis. Aku semakin bingung apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju ruang tamu. Kudengar banyak isak tangis, dan salah satunya adalah suara ibuku dan kakak yang begitu lantang. Tanganku semakin gemetar, langkahku terhenti, seolah tak sanggup lagi berjalan. Kulihat di sela-selanya ada ayahku yang terkujur kaku pucat dan pasi. Suara paling keras keluar dari mulutku seketika “Ayaaaaaaaahhhhhh, apa yang terjadi?” lenyap beberapa saat kemudian dunia rasanya gulita.

Saat aku terbangun. Kulihat disekitar benar-benar berbeda. Kurasa seperti badai, mata ibu yang sendu, pandangan kak Akbar yang kosong tapi berpura-pura tegar, adikku yang lebih sering bangun kesiangan karena tidak ada ayah yang membangunkannya lagi. Kurasa pagiku telah hilang. Separuh jiwaku pergi dan segalanya berubah. Rasa tidak percaya ayah pergi secepat yang tidak pernah ku kira. Meninggalkanku, ibuku, kakak dan adikku. Adakah alasan mengapa ayah harus buru-buru pergi. Pupus semua harapan untuk melanjutkan sekolahku. Impian impian yang kubangun, ayahku bangun seketika sirna. Tak terasa airmataku mulai membasahi pipiku.

Sebagaimana waktu yang terus berlalu, aku belum sempat bertanya kepada ibuku sebab apa ayah meninggal, walau hatiku kini masih terpukul, kurasa ada yang lebih terpukul yaitu ibuku. Aku juga tidak tahu sebab apa ibu merahasiakan tentang kepergian ayah, tentang sakit yang ayah derita, mungkin lebih tepatnya tidak ingin kami ikut menanggung kesedihan. Aku mencoba mencari tahu sendiri.

Beberapa bulan semenjak kepergian ayah, ibu menyuruhku untuk membantu membersihkan kamar ayah. Selama ini jarang sekali aku masuk kamar ayah. Seperti orang asing saja, ketika hari itu aku berada di ruangannya. Aku mulai dengan menyapu lantainya, namun tiba-tiba terlintas, untuk membersihkan meja dekat ranjang tempat tidur ayahku. Karena kulihat sedikit berantakan. Rupanya semenjak kepergian ayah, ibu enggan masuk untuk sekedar membersihkan kamar ayah karena mungkin begitu banyak kenangan di dalamnya. Di atas meja sudah kubersihkan dan semuanya sudah terlihat rapi. Entah, aku iseng-iseng membuka laci meja itu. Terlihat tumpukan kertas hampir memenuhi kotak laci. Kertas apakah ini? Kubaca satu persatu sambil berkaca-kaca mataku, rupanya selama ini ayah menderita penyakit kardiovaskular hingga mengakibatkan stroke, dan tumpukan kertas itu adalah resep obat dari dokter yang harus ditebus dengan harga yang tidak murah. Air mataku kembali menetes lemas terjatuh ke lantai. Kak Akbar yang sejak tadi berdiri di dekat pintu menghampiriku, memelukku mencoba menguatkanku. Kami pun saling terisak, iya isak yang sangat dalam. Disusul ibu yang tiba-tiba sudah memeluk kami berdua dengan tangisan yang tak terbendung lagi. Suasana benar-benar pecah saat itu. Bagaimana ibu bisa melewati ini sendirian? Bagaimana ayah berjuang melawan penyakitnya dan selalu berpura pura baik-baik saja?.

Waktu terus berlalu, semakin hari waktu seolah memaksaku belajar lebih dewasa. Untuk sekedar menghela napas dan menerima kenyataan bahwa segalanya tidak sama seperti dulu, pagi bersama ayahku telah pergi berganti sepi dan harus ku lewati sendiri. Mungkin kehilangan dan pergi adalah cara semesta mengajarkan aku tentang keikhlasan dalam melepaskan. Menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu seindah yang kita bayangkan. Kujalani hari dengan menebar senyuman terutama untuk keluargaku. Karena kuyakin satu-satunya kekuatan saat ini adalah dengan berusaha tersenyum walau pahit.

Pagi-pagi berikutnya, aku berniat untuk terbangun tanpa suara ayahku. Aku mulai dari hari ini. Kucoba pasang alarm tepat pada jam 4 subuh, persis saat ayahku membangunkanku. Beriringan dengan bunyi alarm kudengar suara “Niaaa ayo bangun, sholat subuh terus bersiap-siaplah ke sekolah”. Kurasa tidak asing suara itu, kata-katanya mirip sekali dengan ayah setiap kali membangunkanku. Apa aku telah bermimpi bertemu ayah? Aku telah mengira-ngira di balik selimutku yang masih menyelimutiku. Perlahan kubuka selimutku dan kubuka mataku, kak Akbar telah duduk di sampingku sambil mengelus rambutku persis seperti yang ayah lakukan. “bangunlah dik”. Aku terharu. Semenjak kepergian ayah, kak Akbar sebagai kakak tertua telah berusaha menjadi pengganti ayah. Termasuk hal terkecil pun.

Sudah hampir setahun semenjak kepergian ayah, kakak selalu menjadi sosok yang semakin membuatku terkagum. Sikapnya selalu menunjukkan yang terbaik. Sosok panutan, mengayomi, dan penyayang. Cara memberikan contoh terbaik kepada adik-adiknya persis seperti cara didikan ayah dulu. Kehangatan suasana rumahku perlahan mulai kembali. Kurasakan kembali cinta dan kasih sayang dari ibu, kakak dan adikku setiap saat. Kini aku bersyukur akan hadirnya kakak di tengah keluargaku. Ku temukan kembali kasih sayang seorang ayah sekaligus kakak darinya. Ia tak pernah membiarkanku menangis, tak pernah menyia-nyiakanku, ibuku dan adikku. Ia yang mendorong semua prestasiku. Ia juga yang selalu ada di barisan paling depan untuk mendukungku menuju masa depan yang cerah. Meski aku tahu, ia telah rela mengorbankan masa depannya sendiri demi adik-adiknya.

Oleh karenanya mengapa sampai detik ini aku lebih senang merayakan pagi. Pagiku yang telah kembali. Bagiku, ada sejuta makna yang tersimpan di balik embun, angin dan kicau burungnya. Di sanalah kembali kudengar senyum ayahku di atas kursi goyang itu, sembari memejamkan mata, kurasakan ia memelukku, ibuku, kak Akbar, dan adikku Nofal. Ia mengantarkan pagi dan semangat untuk terus berjuang menjalani hidup. Yang saat ini kudapatkan dari kakakku. “Terima kasih kak”.

 

*Aprili Efidayanti, perempuan kelahiran Sumenep ini sebagai Sarjana Pendidikan lulusan S1 Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik di UNESA Surabaya, lulus pada tahun 2013. Saat ini berprofesi sebagai Guru Mata Pelajaran Seni Budaya di SMAN 1 Bluto. Aktif berkesenian dan menjadi pembina ekstrakurikuler Teater di Sekolah tersebut. Prestasi yang pernah dicapai selama membina ekstrakurikuler teater adalah, Juara 1 Lomba Teater Tradisi dalam Rangka Pekan Cipta Seni Siswa se-Kabupaten Sumenep 2018, Juara 1 Lomba Musikalisasi Puisi tingkat Jawa Timur oleh Universitas Trunojoyo 2019 dan Juara 2 Lomba Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional oleh UNDIKSHA Bali 2020.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here