Selamat Tinggal

0
121
Ilustrasi foto by pinterest

Oleh : Rodiyah El Maulida

07/04/25

Malam itu langit tampak kelabu. Hujan turun perlahan, seperti enggan mengganggu keheningan yang menggantung di antara dua insan yang berdiri di bawah lampu jalan tua. Di sanalah Raka dan Nayla berdiri, diam, membisu, seolah kata-kata sudah tak lagi cukup untuk menampung segala yang menggenang di hati.
“Jadi, ini akhirnya?” suara Nayla pelan, nyaris tenggelam oleh suara rintik hujan.
Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap ujung sepatu yang sudah basah. Hatinya berontak, tapi logika terus memaksanya menerima.
“Kita sudah mencoba, Nay… Tapi kadang, cinta saja tidak cukup.”
Nayla tersenyum pahit mendengar apa yang dituturkan oleh laki-laki di hadapannya ini.
“Lucu ya, dulu kita pikir kita bisa menaklukkan dunia, asal bersama. Sekarang, dunia yang menaklukkan kita.” Nayla dengan suaranya menahan getaran.
Mereka tertawa kecil, getir. Tawa yang dulu menyatukan kini menjadi perpisahan. Waktu berjalan lambat, seperti sengaja memperpanjang detik-detik terakhir kebersamaan mereka. Nayla melangkah mundur, satu langkah yang terasa seperti seribu.
“Kamu akan baik-baik saja?” Tanya gadis itu
Raka mengangguk, meski hatinya belum siap. “Kamu juga, ya? Jaga diri.”

Nayla menatap wajah itu untuk terakhir kalinya. Wajah yang pernah menjadi rumah bagi segala lelah dan tangisnya. Ia tahu, setelah malam ini, semuanya akan berubah. Mereka akan menjadi dua orang asing yang pernah saling mencintai.
“Selamat tinggal, Ka.” Akhirnya Nayla mengucapkan salam perpisahan.
“Selamat tinggal, Nay.” Jawab Raka yang tak bohong dalam hati pun menahan pedih. Dan malam pun menelan mereka, masing-masing berjalan ke arah berlawanan, membawa luka yang tak kasat mata, tapi nyata.

Tiga tahun berlalu.
Raka tengah duduk sendiri di sebuah kafe kecil yang baru saja buka di pusat kota.Tangannya menggenggam secangkir kopi yang aromanya mengingatkan pada sore-sore yang dulu sering ia habiskan bersama Nayla. Lagu lama dari radio mengalun pelan, dan dunia terasa lebih lambat dari biasanya. Hingga pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk menampakkan seseorang yang lama hilang dari hidupnya.
Nayla.

Mereka saling berpandangan. Terkejut, lalu tersenyum satu sama lain. Dunia tiba-tiba sunyi, seolah hanya mereka berdua seperti dulu.
Sadar dari keterdiamannya akhirnya Nayla memutuskan untuk mendekati Raka.
“Boleh gabung duduk?” Tanya Nayla.
Raka mengangguk.
“Tentu.” Hening sejenak. Namun kali ini, bukan karena luka. Melainkan karena kenangan.
“Kamu kelihatan bahagia,” Ucap Nayla dengan senyum tipisnya.
“Kamu juga,” balas Raka.
Dan di antara sisa kopi dan lagu yang terus mengalun, mereka tahu bahwasanya perpisahan tiga tahun lalu bukan akhir melainkan hanya sebuah jeda. Kadang, cinta pergi bukan untuk hilang, tapi untuk menemukan cara pulang.

Kadang, pertemuan kedua tak membawa kembali yang dulu, tapi membuka pintu untuk sesuatu yang baru.
Nayla menggenggam cangkir kopi yang baru dipesannya. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena kopi yang panas. Namun, karena jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Di depannya, Raka —yang dulu ia tinggalkan dengan sejuta luka— tampak tenang. Tapi Nayla tahu, dibalik ketenangan itu, ada banyak hal yang belum selesai.
“Aku sempat dengar kamu ke luar kota setelah itu,” Ujar Nayla memecah hening yang sempat tercipta beberapa saat di antara mereka.

Raka mengangguk.
“Aku butuh waktu buat menyembuhkan semuanya. Jadi aku pergi. Belajar mulai dari awal.”
Padahal Raka lah yang memutus semua ini. Ujar Nayla dalam hati.
“Kamu sudah sembuh?” Lantas tanpa malu Nayla bertanya tentang luka masa lalu dan tentu pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Ia mengangkat wajah, menatap mata Nayla dengan dalam.
“Belum sepenuhnya. Tapi aku sudah berdamai.” Dengan santai pun Raka menjawab tanpa takut. Nayla tersenyum, tanpa memperlihatkan getir.
“Aku juga pergi, ke tempat yang sama sekali baru. Bukan buat kabur, tapi buat menemukan diriku lagi,” ujar Nayla.
“Dan aku belajar satu hal… bahwa melepaskanmu adalah hal paling sulit yang pernah aku lakukan. Tapi juga yang paling aku butuhkan saat itu.” Lanjutnya.
Raka menunduk sebentar. Ia mengerti kini. Tiga tahun lalu, meski Raka yang memutuskan semua ini namun mereka sama-sama hancur. Tapi hari ini, mereka adalah dua versi baru dari diri mereka yang dulu.
“Aku pernah berpikir, kalau kita bertemu lagi, aku bakal marah. Atau sedih. Tapi ternyata… aku hanya bersyukur,” ucap Raka.
“Karena kita bertumbuh?” tanya Nayla. Raka mengangguk. “Dan karena kita pernah saling mencintai dengan sangat tulus.”

Hening lagi. Tapi bukan hening yang canggung. Melainkan hening yang damai.
“Jadi, kamu bahagia sekarang?” tanya Nayla pelan.
Raka menarik napas panjang.
“Iya. Tapi bukan karena aku punya pengganti kamu. tapi karena aku punya diriku sendiri.”
Nayla tersenyum. Kali ini matanya berkaca-kaca.
“Aku bahagia mendengarnya.”
Akhirnya setelah itu mereka berbincang-bincang dengan santai tanpa ada lagi rasa canggung dan mereka menghabiskan waktu hampir satu jam hanya dengan bercerita. Bukan tentang cinta mereka dulu, tapi tentang mimpi-mimpi yang kini mulai terwujud. Tentang luka-luka yang sudah tak lagi perih. Tentang mereka, yang tak lagi ‘kita’, tapi tetap saling menghargai. Dan lantas saat akhirnya Nayla berdiri dan berpamitan, ia menatap Raka dengan senyum yang tulus.
“Terima kasih karena pernah mencintaiku begitu besar. Tanpa itu, aku tak akan jadi seperti sekarang.” Lagi-lagi Nayla tanpa malu mengungkapkan apa yang hatinya ingin katakan meski itu sudah masa lalu dan syukurnya Raka membalas senyumnya.
“Dan terima kasih karena pernah meninggalkanku. Karena Tanpa itu, aku tak akan tahu cara berdiri sendiri.” Balas Raka
“Yasudah aku pamit dulu ya ada keperluan,” Pamit Nayla lagi.
Mereka berpelukan sebentar. Tak ada air mata. Tak ada janji untuk kembali. Hanya kedewasaan yang akhirnya tumbuh setelah semua yang mereka lewati. Saat Nayla melangkah pergi, Raka tak lagi menatap punggungnya dengan luka. Ia hanya menatapnya sebagai seorang teman yang pernah singgah. Dan di dalam hati, ia mengucap lirih,
“Selamat tinggal, cinta lamaku. Terima kasih, sudah jadi pelajaran terbaik dalam hidupku.”
Lirihnya menatap kepergian Nayla namun tanpa sedih

(RAKA POV)
Kadang, yang tersisa bukan rindu atau luka, tapi ketenangan. Dan itu sudah lebih dari cukup. Aku masih duduk di meja itu setelah Nayla pergi. Kopiku sudah dingin, tapi rasanya tak ada yang bisa menggantikan hangatnya pertemuan tadi. Tiga tahun. Tiga tahun aku menjalani hari-hari tanpa dia. Tanpa senyumnya, tanpa suaranya, tanpa mata yang dulu menjadi tempat pulang paling nyaman. Tapi juga tiga tahun yang membuatku mengenal diriku sendiri. Aku ingat malam terakhir kami. Malam ketika kami memutuskan bahwa cinta saja tak cukup. Kami berdiri di bawah lampu jalan, hujan turun perlahan, dan kata “selamat tinggal” itu meluncur dari bibirku tanpa sempat kupikirkan ulang. Aku kira aku akan menyesalinya. Tapi nyatanya, aku tidak. Bukan karena aku tidak mencintainya lagi. Tapi karena cinta, kadang, memang harus tahu kapan mundur.
Saat melihat Nayla lagi tadi, ada yang bergetar dalam diriku. Bukan karena aku ingin kembali. Tapi karena aku akhirnya bisa melihatnya tanpa rasa marah, tanpa getir. Hanya syukur. Karena kami pernah ada, dan karena kami bertahan setelah perpisahan itu. Dia terlihat bahagia. Lebih dewasa. Lebih kuat. Dan aku? Aku tahu aku juga begitu. Aku bukan lagi Raka yang dulu terlalu takut ditinggalkan, yang merasa hidupnya akan hancur tanpa Nayla. Aku belajar berdiri, belajar mengobati luka yang tidak bisa dilihat orang.
Dan hari ini… aku merasa bebas.
Aku tersenyum sendiri. Dulu, aku kira kalau kami bertemu lagi, aku akan berkata, “Maukah kau kembali?” Tapi ternyata, yang keluar dari mulutku hanyalah, “Apa kabar?” Dan kurasa itu cukup. Karena cinta yang tulus tidak selalu berakhir dengan memiliki. Kadang, cinta yang tulus adalah ketika kau bisa melepas seseorang dengan ikhlas, dan tetap mendoakannya dari kejauhan.
Aku menatap ke luar jendela. Hujan sudah berhenti. Langit mulai cerah. Mungkin, semesta tahu hari ini adalah akhir dari bab yang lama —dan awal dari sesuatu yang baru. Bukan bersama Nayla, tapi bersama versi terbaik dari diriku sendiri.
Selamat tinggal, Nayla.
Terima kasih sudah mengajariku mencintai. Dan lebih dari itu terima kasih sudah mengajariku untuk sembuh.

(NAYLA POV)
Yang pernah pergi, tak selalu ingin kembali. Tapi tetap bisa saling memeluk dalam ingatan. Aku berjalan meninggalkan kafe itu dengan langkah pelan. Ada sesuatu yang tertinggal di meja tadi. Bukan barang, tapi rasa. Campuran antara lega, haru, dan sebuah kesadaran yang selama ini tak berani kuhadapi: aku dan Raka memang sudah selesai.
Aku pikir, melihatnya lagi akan membuat hatiku goyah. Bahwa mungkin, setelah sekian lama, aku masih bisa kembali ke pelukan yang dulu terasa paling benar. Tapi ternyata tidak. Yang kutemukan hari ini bukan kerinduan, tapi ketenangan.
Raka masih seperti dulu, tapi juga berbeda. Tatapannya lebih dalam, bahunya lebih kokoh. Bukan karena dia ingin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja tanpaku, tapi karena dia memang sudah tumbuh. Dan itu membuatku bahagia, dengan cara yang tak bisa dijelaskan kata-kata.
Aku teringat masa-masa kami dulu. Sore di taman kota, tawa di tengah hujan, perdebatan kecil yang sering kali berakhir dengan pelukan. Tapi aku juga ingat malam itu. Malam ketika kami saling melepaskan. Bukan karena kami saling membenci, tapi karena kami terlalu mencintai untuk saling menyakiti lebih jauh.
Saat aku pergi dari hidup Raka, aku bukan hanya meninggalkan dia —aku meninggalkan sebagian diriku. Aku tersesat dalam versi yang bahkan aku sendiri tidak kenal. Tapi justru dari situ, aku belajar berdiri. Aku belajar bahwa menjadi sendiri bukan berarti kesepian, dan kehilangan bukan akhir dari segalanya. Pertemuan tadi bukan kebetulan. Aku percaya, semesta memang punya cara mengatur waktu dengan begitu tepat. Kami bertemu bukan untuk kembali, tapi untuk menutup sesuatu yang dulu belum sempat kami bungkus dengan rapi.
Dan aku bersyukur.
Bersyukur pernah mencintai Raka. Bersyukur pernah sakit karena kehilangan dia. Karena dari semua itu, aku akhirnya menemukan diriku sendiri.

Aku berhenti di trotoar. Menatap langit yang mulai terang. Senyum kecil terukir di bibirku.
“Terima kasih, Raka,” bisikku pada angin.
“Selamat tinggal… dan selamat hidup.”
Yah, waktu tidak selalu membawa kita kembali. Tapi ia selalu membawa kita ke tempat yang seharusnya.

5 Tahun Kemudian
Langit senja menggantung di atas kota yang mulai menua. Jalanan masih sibuk, tapi hatiku tidak lagi ikut terburu-buru. Aku berdiri di depan rak buku, jari-jariku menyusuri deretan nama penulis yang akrab dan asing sekaligus. Dan di antara sekian banyak judul, mataku terhenti pada satu nama: Raka Mahesa. Judul bukunya: “Yang Kita Tinggalkan, yang Tetap Tinggal.”
Aku terdiam. Senyum perlahan muncul. Jadi dia akhirnya menerbitkan buku, pikirku. Aku selalu tahu dia punya cara merangkai kata yang bisa menembus hati siapa pun yang membacanya. Dan entah kenapa, rasanya seperti sebuah pelukan dari masa lalu.
Tanpa pikir panjang, aku membeli buku itu. Bukan karena aku ingin kembali pada Raka. Tapi karena aku ingin tahu bagaimana akhirnya dia menulis kisah kami, atau setidaknya kisah yang terinspirasi dari kami.
Di rumah, aku membacanya perlahan. Dan, satu kalimat di halaman pembuka membuatku menahan napas.
‘Untuk seseorang yang pernah aku cintai, dan yang akan selalu aku hormati. Kita tidak ditakdirkan untuk selamanya. Tapi tanpamu, aku tak akan pernah tahu bagaimana caranya hidup sepenuhnya.’
Aku menutup buku itu. Hati ini hangat. Tidak ada air mata, hanya rasa penuh. Kadang, penutupan tak perlu pertemuan terakhir. Kadang, cukup tahu bahwa kita baik-baik saja —di dunia masing-masing.

(ME POV)
Raka kini tinggal di Bandung, membuka perpustakaan kecil di kaki gunung. Ia tidak lagi mencari cinta, tapi memberi tempat untuk siapa saja yang datang membawa cerita. Sementara itu, Nayla tinggal di Jogja. Menjadi guru sastra. Ia menulis puisi-puisi kecil yang diselipkan ke dalam buku-buku muridnya. Tidak semua tentang cinta. Tapi semua tentang hidup. Mereka tidak pernah bertemu lagi. Tapi mereka tahu, masing-masing masih menyimpan rasa yang tak lagi ingin dimiliki, hanya dikenang. Dan pada suatu sore yang tak istimewa, dua orang di kota berbeda menatap langit yang sama.Mereka mengucapkan hal yang sama, dalam hati yang tak lagi sakit
“Terima kasih karena pernah ada. Selamat tinggal, dan selamat hidup.”

SELESAI

El adalah nama penanya. Gadis yang kini berusia 19 tahun ini sudah tertarik dengan dunia menulis sejak dirinya menginjak bangku kelas 6 SD. Kini gadis penyuka sastra ini kuliah di STKIP PGRI SUMENEP sebagai mahasiswa semester satu. Diwaktu kosongnya Ia lebih memilih menghabiskan waktu produktif menulis baik itu berupa catatan- catatan hasil resum ataupun karya fiksi seperti pusi cerpen dan lain-lain.

Karya-karyanya sendiri sudah ditulis di aplikasi orange atau yang dikenal dengan Wattpad.Sedang demikian ia juga sedang mengusahakan untuk menciptakan sebuah karya fiksi berbentuk novel.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here