Cerpen: Dita Nur Maulidia Rizal
Let’s We
You’ve been tossing and turning
For far too long
Like what is some sleep to a life this long?
You’re saying it’s cold even with the heat
Constantly, you’re finding it hard to trust
All the nights spent hurting
All the time they’ve stolen
Waiting on the day you see
BETTER WITH YOU-(Gentle Bones, Benjamin Kheng)
[I’ve never seen
A man with so much dimension
It’s the way you walk
The way you talk
The way you make me feel inside
It’s in your smile
It’s in your eyes
I don’t wanna wait for tonight].
Alunan musik dari sang soloist wanita ternama western itu menjadi teman Jikala malam ini.
Sudah lebih tiga puluh menit sejak ia tiba di tempat itu, cafe dengan aksen modern eropa.
Begitu cantik dengan Chandelier menggantung indah di tengah-tengah, begitu juga tiap pilar-pilar terdapat corak khas kota-kota indah benua seberang itu, sehingga menambah ke estetikan tempat yang nampak berkelas dan elegan.
Begitu juga Jikala dengan dress coklat tua sebatas lutut dengan perpaduan coat coklat mudanya, rambut hitam legamnya diikat kepang menyamping.
Ia begitu terlihat sempurna untuk malam ini, yang tujuannya untuk bertemu seseorang.
Kala duduk di meja bundar bercorak tema colour beige dengan dua kursi berhadapan, di samping tepat dekat jendela besar, hingga menampakkan luar yang sedikit mulai agak gerimis.
“Permisi nona, maaf jika kami lancang, jika tidak ada yang bisa di pesan, kami tidak diperkenankan ada pelanggan disini”.
Waiters dengan balutan seragam khas hitam putih menghampiri Kala di tempat duduknya.
“Ah ya, bisa tolong tunggu sebentar lagi, kekasihku akan tiba secepatnya”.
“Baiklah nona, jika kekasihmu tidak datang, tolong untuk segera beranjak dari tempat kami”.
Shh, Kala meringis dirasa begitu malu sekali, ketika sang waiters telah kembali pada bilik counter.
Ya, tidak akan berakhir di tempat ini jika Kala tak ada tujuan, kemarin sore kekasihnya telah mengajaknya untuk bertemu, dan cafe eksotis ini adalah pilihan akhir mereka.
Kala mengulurkan tasnya, mengambil benda pipih elektronik keluaran terbaru tahun 20xx, mengotak atiknya kemudian menempelkan pada telinga berbalut anting dengan kilauan zambrut murni itu.
Detik berlalu hingga terdengar suara dari sebrang telfon yang menghubungkan dengan seseorang di sana.
“….”
“Apakah masih lama?”
“…….”
“Baiklah, akan kutunggu, cepat tiba ya, hati-hati”
Pip…
Kala menghela nafas menyimpan ponselnya kembali pada tas brandnya.
Kemarin ajakan itu membuat Kala senang bukan main, ia telah mempersiapkan semuanya sedari rumah, bahkan Kala yang terbiasa tidak begitu khawatir dengan sesuatu apapun yang dia kenakan, namun malam itu sampai ia menghubungi sahabatnya- Felici.
Hanya untuk menjadi sang judges, dress apa yang harus ia pakai untuk rencana datenight nya saat ini.
Malam ini keadaan cafe sedikit hening jika saja suara musik jazz tak dimainkan, meskipun pelanggan tak bisa dibilang banyak, namun mereka sepertinya tak berniat untuk merusuh.
Tentu saja tamu-tamu di cafe itu, nampak tidak terlihat seperti tamu biasa, bahkan Jikala tadi sempat melihat salah satu atasannya mengunjungi cafe ini.
Cling Cling..!
Suara perpaduan kusen pintu dengan lonceng cafe mengalihkan perhatian Kala.
Orang yang baru saja datang dengan setelan blazer itu, menghampiri Kala mengambil tempat duduk di seberang meja tempatnya.
“Apakah aku membuatmu menunggu lama?”
Pria itu- Mahen, kekasih Jikala yang menjadi tujuan Kala di cafe itu.
Memandang Kala yang begitu cantik dengan balutan dress malam ini, ia akui pesona Kala begitu indah untuk diabaikan begitu saja, ah dipikir lagi, ia jatuh cinta dan menyatakan perasaannya pada Kala dulu karena kecantikan elok gadis itu berada jauh diatas untuk ukuran standar ideal wanita.
“Tidak.. aku baru saja datang” respons Kala mencoba bersikap tenang, tak apa menurutnya sedikit membubuhkan kebohongan, Kala tak akan memperpanjang mengenai masalah waktu.
Mahen berdeham menatap serius Kala.
“Kala.. actually i don’t have so much time for conversation tonight”
“Ya..?”
“maybe if we.. –
Aku harus mempercepat ini”
“Langsung saja intinya Mahen.. break up right?”
Jikala merasa mungkin ini sudah waktunya
“-ya Kala, aku ingin menghentikan hubungan ini, sebelumnya- ekhem.. maaf, karena kita tidak bisa lagi bersama, I think.. break is better for ours, aku sudah tidak bisa lagi seperti dulu, perasaanku berubah, dan aku tidak ingin menyakitimu lebih lama, sorry for to be honest, I don’t want to get you hurt cuz I’m”.
Kala tak memberikan ucapan apapun setelah penuturan panjang Mahen, namun rematan di ujung hingga menimbulkan kerutan kain di dress menjadi bukti dari rasa yang amat membuat hati Kala remuk.
Dongakkan kepala, menegakkan tubuhnya, menatap tepat pada sosok yang tak dapat ia elak ketampanannya itu dihadapannya.
“Baiklah, aku menerima keputusanmu, I think enough is enough, sepertinya hanya aku yang salah paham di sini, karena sempat kupikir kita akan malam bersama, di sini. Yeah.. for now, don’t meet ever again, you bastard me so much Mahen”.
“Sorry, forgive me Kala, aku hanya bern-“.
Namun sayang kalimatnya terhenti begitu ponsel Mahen berdering tepat menampilkan nama seseorang yang begitu Kala hafal akhir-akhir ini.
Olifia is calling…
Dengan cekatan Mahen mengangkat panggilan telfon itu
“….”
“Baiklah, five minutes, aku akan selesai”
“…..”
“Iya, see ya”
Mahen kembali pada tempatnya, setelah dirasa ia sudah selesai dengan panggilannya.
“Kala..”
“-ya aku tau, pergilah, kau sibuk, aku mengerti, dan I hope, this is the last ours to meet ever again”.
“Haahh.. maafkan aku Jikala” Berat langkah Mahen meninggalkan Jikala sendiri di meja bundar dengan lilin aroma di tengahnya itu.
Kenangan malam itu benar-benar menjadi yang terakhir bagi hubungan mereka.
Kala masih dalam kesendiriannya, Mahen telah beranjak beberapa waktu lalu, meninggalkan Kala yang tak luput dari sakit hati dengan kecewa yang teramat sangat.
Kala tumpukan siku lengan kanannya di atas meja, punggung tangannya ia jadikan sebagai sandaran dagu dan pipinya, tak ada niat untuk beranjak meskipun sudah mendapat peringatan dari sang waiters cafe tadi.
Tak bergeming, termenung menatap rintik hujan di luar sana, melihat mobil Mahen telah meninggalkan tempatnya semula, namun terhenti sesaat kala melihat mobil lain menurunkan seorang wanita yang kemudian beralih memasuki mobil milik Mahen, menyisakan Kala sendirian dengan hampa yang dimilikinya.
“Haahh right in front of my salad huh? Mahen brengsek”.
Seharusnya Kala tau, seharusnya Kala berhenti sejak awal, sejak Hilangnya perlakuan manis Mahen, sejak ia telah jarang melihat senyum Mahen, sejak ia mengetahui nama yang kerap kali menghubungi Mahen.
Harusnya ia sadar semuanya, Mahen telah memilih pergi dari hidupnya.
Bohong, jika tak ada sakit hati dalam diri Kala, penuturan Mahen bukan hanya sekedar kecewa waktu ia mendapat penolakan dalam penawaran hubungan kerja sama saat di kantor, namun lebih dari hal itu.
Sibuk dengan kemelutnya, tidak peduli dengan keberadaan seseorang di ujung lain yang kemungkinan besar menguping pembicaraannya dengan sang mantan kekasih.
Who cares? Kala hanya ingin waktu sebentar.
Tuk!
Diliriknya sebuah cangkir dengan isi yang sudah tersisa setengah mendarat tepat di depan meja yang ia tempati.
“Can I?”
Kala melirik tanpa menolehkan sedikitpun pandangannya kearah pria yang menawarkan diri untuk duduk di kursi seberangnya.
“Hm”
Lantas Kala kembali menatap luar, seakan tangisan malam itu adalah objek yang tidak boleh dilewatkan seinci pun saat ini.
“Feel blue, am i right?”
“Tck, what’s your matter, Sir?”
Pria itu mengangkat setengah alisnya, tak merespon tanggapan sarkas Kala, justru ikut menatap hujan malam diluar sana.
“Haha, beautiful rain outside”
“Stupid, night bitty ”
Kekehan samar teralun dari belah tipis pria itu setelah mendengar umpatan tertahan si gadis.
“Danta, Danta damaresh, 28 tahun”
Kala sontak menatap pria itu lagi dengan alis terangkat, agak sedikit terkejut, pasalnya untuk apa sebenarnya tujuan pria dihadapannya ini mengenalkan dirinya sendiri tanpa Jikala minta.
“Jikala”
Namun Kala tetap merespon, ah menambah list teman sepertinya bukan masalah besar bukan.
“So, Jikala” Tutur pria itu mengambang, membuat Jikala penasaran kalimat apa yang dilontarkan pria itu selanjutnya.
Kala berakhir menolehkan kepalanya dan membenarkan posisi duduknya agar berhadapan dengan orang yang mengajaknya bicara sejak tadi.
Baru sadar, dapat Jikala lihat dengan mata bulat cantiknya, pria dihadapannya ini tak kalah tampan.
Dari posisi duduknya, Kala dapat memastikan postur pria dihadapannya ini nampak bagus, serta jika ditelisik lebih lama parasnya begitu tampan nilai plus dengan rahang yang tegas, terlihat guratan saraf yang menonjol dibalik lengan kemeja hitam yang digulung hingga sebatas siku.
Dia nampak begitu Manly but sweet like honey at the same time.
“Have a busy don’t you?”
“Nope, aku hanya mampir karena ingin bertemu kekasihku”
“Ck. Kalau begitu, pergilah, jangan sampai kekasihmu melihatmu berada di cafe dengan seorang wanita, atau dia akan salah paham, dan berakhir kalian putus, like i am just ago”.
Lagi-lagi mengundang kekehan dari pria yang mengenalkan dirinya sebagai Danta beberapa menit lalu.
“Maybe, she is making a great time with another man?”
“ah-okey” sedikit terkejut dengan jawaban jujur si pria.
“Mhm, fate isn’t as pretty as a cupcake with sprinkles on top, and stupidly, we have to accept it”.
“Katakan pada gadis dengan dress brown nya yang pernah mengumpatkan mengenai malam ini beberapa menit lalu”.
“Disparage me huh!?”
“Hahaha… Nope Kala”
Sosok pemilik hidung bangir itu berhenti dengan kalimatnya, menyeruput menu latte panas yang sekarang sudah menjadi hangat itu hingga tandas.
Melupakan fakta keberadaan Kala yang sedikit terpana akibat tawa renyah yang keluar dari bilah tipis itu.
Kembali mereka bersitatap.
Maybe they’re zing (?)
Tstt.. tstt ctaz!
“..!?”
Lampu caffe mati seketika menyebabkan gelap ruangan namun sepertinya akibat dari hujan yang begitu deras disertai angin sehingga menyebabkan padam.
Pelanggan sedikit terdengar rusuh dan para waiters yang mondar-mandir sibuk memberikan pencahayaan sekitar dengan memberikan lilin penerang di tengah-tengah meja tamu.
Beruntung kedua insan yang baru berkenalan beberapa saat lalu itu bukan tipe penakut, jadi mereka tetap duduk tenang hingga kini tempatnya sudah agak terang dari sebelumnya, karena lilin yang dinyalakan para karyawan cafe.
Dan akibat lilin juga karenanya Danta dapat melihat Jikala dibawah pencahayaan yang remang ini nampak begitu indah dan cantik, cantik sekali, sampai ingin sekali Danta menjadikan Kala miliknya.
“Ekhem.. Kala- let’s be mine”
Kalimat tiba-tiba itu lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan, ah entah sejak kapan atmosfer sekeliling mereka menjadi canggung begini.
“Huh!? Seriously Damaresh?? At our first meet?”
“Ah apa mungkin terlalu cepat ya?”
‘Damaresh bodoh, bahkan dia masih mempertanyakan hal itu? Tentu saja! Aku tau dia tampan tapi yang benar saja’
Sibuk menggerutu dalam hatinya, sedang Danta hanya terkekeh canggung sambil mengusap belakang tengkuknya akibat malu, karena terlalu cepat menyatakan yang tidak seharusnya ia katakan untuk seseorang yang baru saja bertemu.
“Tidak, bukankah berproses akan lebih menyenangkan?”
Kala merespon cepat dengan memberikan wajah paling manisnya, agar Danta tak salah paham dengan ucapannya tadi.
“Ah ya, aku harus berusaha dulu ya, baiklah Kala, tunggu aku”
“Noted! Akan kutunggu”
“Ngomong-ngomong caffe mahal juga bisa padam ya hahahaha”
“Damaresh bodooh”
“Hahahhahah”
Mengabaikan tatapan pelanggan lain yang mulai menatap aneh kedua insan yang sedang terbahak itu-ah atau mungkin hanya salah satunya.
Karena satu lainnya kini sedang berusaha menenggelamkan diri, karena malu akibat tawa menggelegar itu.
Ya, Danta akan berusaha, biarlah kisahnya yang lalu ia simpan dalam kotak paradoks, akan ia ulang kembali sehingga tak sama dengan kisah lama.
Danta telah terjatuh pada sosok Jikala di hari pertama, begitupun sebaliknya -mungkin.
“Kala ayo berteman mulai saat ini”
“Call!”
Malam itu adalah awal dari permulaan hingga sampai kapan niat awal kan terjadi, hanya takdir yang dapat menepati, dari setiap ucapan janji.
*Penulis adalah Dita Nur Maulidia Rizal, perempuan berparas cantik yang berdomisili di Kecamatan Kota Kabupaten Sumenep. Selain itu, dia adalah mahasiswa prodi PBSI, dan sekarang aktif menulis di LPM Retorika.