Luka Dibalik Nama

0
98
Ilustrasi Luka Dibalik Nama. Sumber Foto : Mediaretorika

Oleh : Diyah

Anindya Puteri Maulidia seorang gadis berparas manis dan periang yang menaruh sebuah cita-cita nan harapan yang besar di balik luka nan pahitnya hidup yang selama ini dijalani. Hidup di antara ribuan manusia yang penuh lisan tajam tanpa mau memeluk pada proses gadis tersebut. Dya, nama yang biasa menjadi panggilan dari gadis itu. Setiap hari memperjuangkan mimpi yang dibawa sejak dirinya menginjakkan kaki pada rasa pengetahuan dan merasakan bagaimana hidup di antara sakit dan pahitnya dunia tanpa mimpi.

Namun, di dalam perjalanannya tuk menumpas semua luka yang menyergap. Ada banyak lika-liku, pahit manis, dan turun naiknya segala hidup. Dan di balik semua luka yang bertengger pada namanya, ada segunung harapan yang ia bawa.

Seperti yang telah ia mimpikan hari-hari sebelumnya. Hari ini adalah awal dari perjuangannya menumpas satu persatu luka dan pahitnya kisah yang tak henti mengejarnya.

“Mah, Dya pamit mau berangkat dulu,” pamit seorang gadis yang mengaku Dya pada perempuan cantik paruh baya di depannya.

“Alhamdulillah udah mau masuk kuliah aja ya anak mamah,” ujar sang mamah, tak lupa senyum manisnya.

“Hehehe do’ain ya mah, biar PKKMB-nya lancar hari ini,” ujar Dya.

“Siap nak bismillah lancar dan tetep semangat ya jalanin kuliahnya meski ini bukan kampus impian Kakak,” pesan sang mamah.

“Iya mah siap Dya akan tetep berusaha,” balas Dya lagi.

Sang Mamah tersenyum mendengar balasan sang anak.

Setelahnya Gadis itu berangkat dengan diantar oleh sang papah pada kampus tempat ia akan memulai langkah awal perjalanannya setelah berakhir sebagai seorang “Siswa”.

Langkah yang tentunya akan lebih besar dari perjalanannya yang pernah ia lalui.

Sesampainya di tujuan ia langsung menuju tempat acara akan dimulai. Namun sebelum ia melangkahkan kedua kakinya, gadis itu menghela napas perlahan sembari menutup keduamatanya tak lupa doa dalam hatinya,

“Bismillah Dya ayo tetep semangat dan berproses meski di sini bukan tempat yang kamu mau!”

Setelahnya gadis itu melangkah dan terus memulai segala acara yang berlangsung.
Demi berproses dengan sungguh-sungguh meski bukan pada kampus impiannya ia menjalani semua kegiatan dengan semangat dan penuh ambisinya.

Semua peluang dan kesempatan ia raih demi bekal pada perjalanannya yang akan datang pula.

“Ya Allah tiga hari ini banyak banget Ilmu dan pengalaman yang dibawa,” ucap syukurnya karena tanpa ia sadari, hari-hari awal yang semula terasa berat justru menjadi pijakan awal yang memperkuat tekadnya. Bahkan sinar matahari senja menyapa wajahnya. Seolah ikut tersenyum atas pencapaiannya hari itu.

Tiga hari PKKMB telah berhasil dilalui Dya dengan berbagai cerita. Mulai dari bertemu teman-teman baru, menyimak materi dari para dosen, hingga berkenalan dengan organisasi-organisasi yang membuat semangatnya kembali menyala.

Malam itu, Dya duduk di sudut kamarnya. Menatap langit-langit yang redup sambil memeluk sebuah buku catatan kecil. Buku itu ia sebut sebagai Buku Harapan.
Di sana tertulis berbagai mimpi dan doa yang pernah ia tulis sejak SMA. Perlahan ia membuka halaman terakhir yang ditulisnya sebulan lalu,

“Masuk kampus impian dan menjadi penulis hebat.” Dua mimpinya belum tercapai, namun ia tersenyum.
Bukan dengan getir, namun dengan penuh penerimaan.

“Tidak di kampus impian, tapi mungkin ini kampus yang Tuhan pilihkan untukku,” gumamnya pelan. Dan malam itu ia kembali menulis di bukunya,

“Hari ini aku mulai menerima. Dan semoga langkah-langkahku menjadi lebih kuat. Aku mungkin tidak berada di tempat yang kuimpikan, tapi aku tetap bisa menjadi mimpi bagi diriku sendiri,” gumamnya lagi.

****

Hari-hari pun berlalu dan semester pertama berjalan dengan cepat. Dya tak pernah menyangka hidupnya akan se dinamis saat ini.

Dari yang awalnya hanya berniat untuk bertahan setahun pada tempat ia menambah ilmu saat ini, kini ia mulai merasa betah. Prestasi demi prestasi diraihnya. Meski gadis itu mengakui bahwa segala yang ia capai tidak dapat disebut prestasi karena tak seberapa.

Namun menurut ia, ini adalah sebuah perubahan dari mulai gadis itu hanya menjadi seorang perempuan biasa saat berseragam putih Abu-Abu kemarin. Menjadi peserta terbaik dalam beberapa kegiatan, ikut banyak seminar kepenulisan, hingga bergabung dengan organisasi literasi yang justru membuka jalan besar bagi hobi menulisnya.

Organisasi itu bernama LPM RETORIKA, wadah yang tak hanya mendukungnya menulis, namum juga mempertemukannya pada banyak teman-teman yang satu frekuensi. Mereka tidak hanya mengapresiasi tulisannya, namun juga benar-benar mempermudah dan mewadahi mimpinya.

Suatu sore sepulang kegiatan organisasi, Dya berbincang dengan mamahnya sambil duduk di teras rumah.

“Maaah… Dya mau cerita!” serunya penuh semangat dan raut yang begitu bersinar.

“Wah, anak Mamah kenapa nih keliatan seneng banget? Ada Cerita apa lagi nih, sayang?” jawab mamah sembari tertawa kecil melihat ekspresi sang anak yang tampak begitu riang.

“Mah, inget gak Dya dulu bilang cuma mau setahun di sini?” tanya Dya.

”Iya, kenapa memang nak?” tanya sang mamah balik.

” Emmm sekarang… Dya bingung. Dya malah takut ninggalin semuanya mah,” Adu sang gadis.

“Teman-teman, organisasi, apalagi LPM dan Pramuka. Mereka tuh rumah banget untuk Dya sekarang,” lanjutnya lagi.
Sang Mamah terdiam sejenak.
Lalu berkata lembut

“Itu berarti kakak sudah menemukan tempat kakak,” ujarnya setelah keterdiamannya beberapa saat.

“Nak. Kadang yang terbaik bukan yang kita rencanakan, tapi yang datang saat kita ikhlas dan berproses,” tak lupa senyum tipis nan cantik dari sang mamah.

“Tapi mah kadang-kadang Dya masih kepikiran sama kampus impian Dya,” keluh Dya yang masih sedikit ragu.

“Nak, mamah malah lega denger kakak ga jadi pengen pindah. Soalnya mamah kurang yakin. Dan lihat buktinya meski bukan kampus yang kakak mau, tapi di sini kakak berhasil meraih segala mimpinya kakak kan?” nasehat sang mamah.

“Iya sih mah,” respon Dya.

“Sudahlah nak di sini saja. Buktinya kata hati kecil kakak aja mau untuk terus melanjutkan di sini. Jadi apa salahnya?” nasehat sang mamah.

“Lagi pula Mamah yakin kak, satu persatu mimpi kakak akan tercapai semua. Percaya deh,” sang mamah mengungkapkan dengan begitu lembut dan penuh nasehat.

Akhirnya Dya mengangguk kecil.
Tersenyum walau mamahnya tak bisa melihat.

“Iyaa mahh siapp makasihhh,” akhirnya itulah jawaban Dya.

Hari itu, Dya menyadari bahwa kampus ini mungkin bukan impian awal baginya, namun bisa jadi tempat lahirnya impian yang lebih besar. Dengan senyum yang tulus dan hati yang mulai damai, Dya menatap bulan yang menggantung pada langit dan dikelilingi ribuan bintang.
Luka di namanya perlahan bukan lagi menjadi beban, melainkan bahan bakar dari mimpi yang terus menyala.

 

Diyah adalah sosok mahasiswa baru Prodi Matematika yang berbagi cerita hidupnya melalui tulisan. Baginya, menulis bukanlah sekedar hobi melainkan bagian dari hidupnya.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here