Pragmatisme: Kita Semua Salah Paham?

0
575
Ilustrasi by agusahmadhanif.wordpress.com

Oleh: Akhidatul Avida

Bermula dari keresahan dan kegundahan pikiran yang terus membelenggu, dari kemarin setiap pembicaraan yang dibangun akan menemukan titik terang namun terkadang komunikasi yang berjalan dibumbuhi dengan argumen yang berbeda dengan dialektik yang aktif. Urgensi berpikir merupakan bentuk reaksi terhadap fenomenal yang terjadi membiarkan otak ini terus berputar hingga menghasilkan buah pikir dari berbagai sudut pandang. Sebuah tindakan yang memberikan beberapa pandangan dengan sebab akibat yang jelas namun ketika duduk manis semuanya dapat menjelaskan sebab mengapa bisa seperti itu dan dapat mempertanggung jawabkan akibat yang yang dihasilkan.

Sederhananya ketika seseorang mengalami ketidakadilan (menurutnya) ia merasa hak yang harusnya ia terima tidak terpenuhi karena dalam praktiknya hal itu tidak didapatkan. Melakukan segala cara agar ketidakadilan itu ditindak lanjuti dan semua kewajiban yang harusnya diberikan terpenuhi. Maka yang jelas dalam pikiran kita dapat menerima tindakan yang dilakukan orang tersebut karena tindakan yang ia lakukan merupakan bentuk pembelaan dan upaya menumpas ketidakadilan. Segelintir orang yang merasa dirinya tertuntut tidak merasa bahwa ia gagal atas penuhan kewajiban itu yang artinya dalam perspektif mereka apa yang telah dilakukan itu sudah lebih dari cukup, goyahlah setiap prasangka yang ditujuhkan dan kebingunganpun kian menjadi-jadi.

Pemecahan masalah mencari kebenaran melalui pandangan pragmatisme dengan beberapa pemahaman yang dijabarkan oleh para ahli. Dalam bahasa Yunani Pragmatisme, pragma yang berarti tindakan atau perbuatan. Merupakan aliran filsafat berpandangan terdapat kriteria kebenaran sesuai dengan kegunaannya bagi kehidupan nyata jika melalui pendekatan epistemologi. Oleh karena itu keberanaran yang dihasilkan akan relatif, tidak mutlak karena bisa saja kebenaran tersebut dirasa dapat berguna bagi sekelompok masyarakat tetapi tidak untuk masyarakat yang lainnya. Untuk itu menyalahkan mencari sebuah kebenaran tentang diskursus ini setidaknya kita bisa beranggapan bahwa setiap orang memiliki pandangannya tersendiri terhadap apa yang ia lakukan seperti halnya yang dijabarkan dalam Cakrawala Pendidikan, Juni 2007, Th. XXVI, No.2 tentang Pokok-pokok pandangan Richard Rorty tentang kebenaran terutama dalam karya Philosophy and the Mirror of Nature, berbicara tentang Sellar dan Quine dengan dua gagasan, Sellar terhadap ‘keterberian’ (givenness) dan Quine terhadap ‘kemestian’ (necessity) kedua orang tersebut menganut paham holisme dan pragmatisme. Seorang penganut holisme yang memandang segala gejala dari setiap permasalah secara utuh maka ketika disandingkan dengan pragmatisme yang dianut gambaran itu akan sangat jelas karena mereka sudah melihat dari berbagai sisi dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan dan melihat bentuk kebenaran yang disajikan tentunya dengan melihat sejauh apa kegunaannya bagi kehidupan.

Namun dalam sebuah realitanya terkadang kita ingin mempercayai sebuah kebenaran dari apa yang ingin kita percayai maka Rortypun setuju dengan pendapat William James yang mengatakan bahwa pragmatisme adalah realitas yang sudah kita ketahui dapat berguna untuk mengukur suatu kebenaran dari konsep seseorang ketika harus mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterapkan pada konsep itu sendiri, oleh karena itu terkadang orang sudah dapat membaca setiap situasi yang terjadi dari setiap tindakan yang dilakukan maka tidak salah jika orang tersebut membenarkan apa yang ia anggap benar.

Tetapi tetap saja sepertinya yang saya jelaskan di awal bahwasanya setiap permasalahan yang dikomunikasikan akan menemukan titik terang sehingga pada masyarakat ketika berhubungan satu sama lain membangun sebuah dialog dengan istilah conversational justification atau social justification yang dimaksudkan dalam hal tersebut adalah ketika masyarakat membangun sebuah dialog atau terlibat dalam wacana publik sebenarnya dapat melihat lebih jelas lagi dan tambah merasa yakin mana yang dianggap paling benar. Dalam jurnal di atas dijelaskan bahwa bagi Rorty, “As a pragmatist, Rorty’s metaphilosophical interest art; directed toward the aim of communication rather than truth or agreement” yang berarti menjadi pragmatis bukan kepastian yang ingin dicari, melainkan berdialog dengan orang lain, memperbincangkan tema-tema dengan orang lain”. Pada dasarnya konsep filsafat Rorty adalah berkomunikasi dengan pihaklain.

Setiap kebenaran yang dicari, bahkan yang ingin dipercanyai dengan pragmatisme tetap akan menemukan titik terang berbicara kebenaran memang relatif, namun ketidak mutlakannya tetap ada di ruang tertentu sehingga setiap permasalahan sebenarnya banyak sekali jalan tengahnya salah satunya bisa melaui komunikasi, berdialog untuk memastikan bahwa semuanya dapat terayomi dengan baik mengingat kita sebagai mahasiswa mempunyai peran sebagai Guardian of value (Penjaga Nilai), Agent of change (Agen perubahan), Sosial control (kontrol sosial) harus bisa menjadi Sellar dan Quine di setiap perkara. Apabila merasa ada yang memberatkan sebelah pihak atau timpang sebelah maka jangan biarkan hal itu terus berlarut-larut membelenggu kita dan membuat pikiran kita semakin rumit. Oleh karena itu tindak, suarakan, lalu lakukan evaluasi bersama karena pada hakikatnya bersuara tetap menjadi jalan terbaik dari pada diam menjadi bangkai.

 

*Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) Semester 3. Aktif berkegiatan di Organisasi Mahasiswa Peduli Sosial (MPS).

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here