Teman-teman sekalian sudah pasti mengetahui bagaimana peranan penting dari pariwisata dan sudah banyak ilmuan serta pakar-pakar wisatawan yang mengkaji secara konkrit pariwisata Indonesia.
Bahkan, saya merasa tidak berhak menguak secara gamblang bagaimana pariwisata di Indonesia dan apa saja potensi di dalamnya. Namun, saya pikir harus selangkah lebih maju dan bergerak untuk menulis artikel ini agar ada istilahnya kolaborasi dari berbagai pihak.
Sebagai salah satu contoh pakar ilmuan yang mengupas terkait pariwisata bisa dicek di dalam journal yang dikutip oleh Yoeti dari Sefira Ryalita Primadany yang dimaksud pariwisata adalah “Semua fasilitas yang dapat memungkinkan proses perekonomian berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya”.
Berbeda halnya dengan perspektif saya sendiri mengenai pariwisata merupakan salah satu asset paling berharga di dunia, khususnya di Indonesia. Kurva perkembangan ekonomi membuktikan dengan perolehan angka 40% mengindikasikan seperempat lebih dari sector perekonomian, pariwisata memiliki kontribusi unggul dan lebih di dalamnya.
Representasi di atas merupakan salah satu indikasi urgensitas pariwisata secara global, sebagai elemen penyusun perekonomian Nasional dengan skala perbandingan 2/3 dari total 100% perekonomian nasional sehingga sampai saat ini alasan mengapa Sandiaga Shalahuddin Uno selaku Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) masih menekankan perwujudan pariwisata yang efektif dan juga ekonomi kreatif sebagai bagian dari kerja keras masing-masing pemerintah daerah.
Namun, di sisi lain jika dilihat skala perbandingan kurva periode ini dari tahun sebelumnya maka pada tahun 2020 memperoleh prosentase 4,1% dan 4,7 % pada tahun 2019; artinya banyak sekali penurunan pada sektor pariwisata yang tidak bisa kita klaim bahwasanya penurunan presentase tersebut merupakan hal yang wajar, namun juga kita tilik penyebab dan problem solving jangka panjangnya. Salah satu alasan mengapa pariwisata harus mendapatkan perhatian khusus adalah peranannya dalam hal devisa negara; yaitu hasil dari National income yang salah satunya berupa devisa valuta asing tourism destination.
Di Indonesia, ada satu hal yang lebih urgen dan sangat disepelekan oleh notabene orang bahkan pemerintah pun pada khususnya sebagai mobilator eksplorasi perkembangan wisata di Indonesia, yaitu ekonomi kreatif daerah dengan potensial yang sangat tinggi.
Skala perbandingan antara ekonomi kreatif dengan pariwisata adalah sama rata; saling keterkaitan dan sama-sama memiliki urgesitas yang tinggi. Ekonomi kreatif bagi saya lebih kepada pengintensifikasi ekonomi kerakyatan dengan memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA).
Sedangkan parawisata lebih kepada intensifikasi Sumber Daya Alam (SDA) separoh besar disbandingkan Sumber Daya Manusia (SDM). Tidak jauh beda output yang dihasilkan berupa pemberdayaan secara utuh dari suatu daerah tertentu.
Mengingat salah satu penunjang keberhasilan perekonomian di Indonesia berdasarkan Repelita I (1969-1974) salah satunya adalah daerah dan transmigrasi sebanyak 15% dari prosentase secara totalitas, maka perkembangan daerah yang merupakan objek output domestik Negara seharusnya juga mendapatkan perhatian lebih. Kesannya agar lebih etis dan setimpal dengan harga perolehan Negara atas daerah.
Ada banyak daerah yang belum terfasilitasi bahkan tidak memiliki akses untuk mengeksplorasi daerahnya agar mampu memiliki daya saing yang setara degan destinasi lain, terlebih daerah yang memiliki potensi ecotourism salah satunya daerah yang berada di kawasan Sekar Kijang; Jember, Ledokombo, Air Terjun Pengantin.
Tidak hanya cukup di sektor pariwisatanya tetapi potensi daerahnya yang masih memiliki kulturisasi kental, dan paradigma fungsionalisasi yang stagnan. Namun hal ini bukan atas nama intoleransi tetapi lebih cenderung kepada region culture. Hal terkait bisa diakses lewat laman berikut.
Destination Stimulus
Ledokombo merupakan salah satu daerah yang ada di daerah Sekar Kijang, Jember, Jawa Timur. Daerah dengan luas 157,03 ini memiliki potensi wisata yang multikultur dan masih bernafaskan alam. Sebagaimana data (BPS) Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember tahun 2019 daerah dengan jumlah 10 desa ini memiliki keberagaman wisata yang berpotensi tidak hanya dalam ruang lingkup lokal saja tetapi International.
Daerah ini akrab sekali disapa dengan Kampung Tanoker atau Kampung Belajar karena daerah ini memiliki filosofi tersendiri bagi penghuninya. Daerah yang terletak di pojok timur kota Jember ini memiliki ciri khas dalam kearifan budaya lokalnya, baik dalam hal kuliner seperti halnya sate vegetarian, nasi hijau, mie telo, dan masih banyak lainnya.
Kuliner yang tersebar di wilayah Ledokombo ini masih sangat traditional sehingga kesannya masih sangat sehat dan sedikit dari bahan kimiawi. Seperti halnya mie telo yang bahannya berasal dari mie asli dicampur dengan varian telo; ungu, kuning, dan putih.
Pengolahannya pun masih sangat sederhana, menggunakan alat tradisional seperti halnya ulek-ulek berbahan batu dan tumbukan berbahan kayu sehingga rasa lebih nikmat dan tekstur makanannya lebih renyah dibandingkan pengolahan makanan menggunakan bahan pengawet.
Bagaimana wisata ini bisa dijadikan prioritas pemerintah daerah khususnya dalam pemberdayaannya?. Tentunya ada beberapa alas an mengapa wisata di wilayah Ledokombo harus mendapatkan perhatian serta fasilitas lebih.
Pertama, wilayah ini memiliki dua potensi sekaligus yang dapat dijadikan pemberdayaan secara lebih bagi masyarakat sana; ekonomi kreatif berupa hasil olah tangan masyarakat secara real dan pariwisata yang tidak hanya memberdayakan Sumber Daya Alam (SDA) saja tetapi juga pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) berupa komunitas Tanoker.
Setelah berkembangnya zaman, ternyata hingga saat ini pun wisata ini belum tersentuh sama sekali dengan kecanggihan teknologi bahkan tidak ada batu loncatan sedikit pun. Pasalnya wisata ini dianggap sakral dan tidak layak dijadikan destinasi. Sejatinya, tempat ini memiliki fasilitas penunjang lain yang memungkinkan menambah daya tarik pengunjung.
Ecotourism Potensial and Ecoeducation
Ecotourism merupakan hal yang angel ditemukan dalam suatu wisata khususnya wisata dengan potensi yang sangat minim dan belum tereksplorasi sama sekali. Hal ini bukan masalah klaim resmi dari pemerintah, tetapi masalah strategi bagaimana caranya memadukan antara wisata traditional yang dikembangkan dan memiliki nuansa ramah lingkungan; alam masih menjadi prioritas objeknya.
Pertama, Air Terjun Anjasmoro merupakan salah satu wisata di daerah Ledokombo yang memiliki potensi ecotourism dengan beberapa sajian wahana alam yang sangat asri.
Air Terjun ini memilki letak geografis yang strategis dengan rute perjalanan yang berdempetan dengan kebun kopi, sehingga disamping mengunjungi Air terjun ini wisatawan dapat melihat keasrian kebun kopi serta varian dari kopi di sana.
Kedua, Kampoeng Tanoker yang masih kental dengan budaya traditional. Salah satunya permainan Egrang, ketika kita flashback maka kita dapat menarik positive value. Pertama, bagaimana pelestarian budaya traditional masih sangat ditekankan di kawasan ini.
Permainan ini tidak hanya memilki nilai konten intermezo saja tetapi manfaat terhadap kesehatan. Kegiatan olahraga yang bisa dilakukan dengan memakai alat tradisional. Pola budaya yang diterapkan di dalam kampung ini bisa dikatakan memiliki banyak edukasi dan juga dedikasi terhadap pengunjung terlebih untuk kalangan anak-anak.
Permainan Egrang sendiri sudah menjadi trending permainan yang mendapat apresiasi baik dari pemerintahan dibuktikan dengan adanya festival Egrang IX. Otomatis festival ini sudah berjalan jauh tujuh tahun sebelumnya. Tinggal bagaimana kita melanjutkan pemberdayaan kultur tersebut.
Ketiga, Taman Gading yang juga menjadi salah satu objek wisata sebagai perwujudan ecotourism potential. Taman ini masih kelihatan alami sekali, ditambah dengan penataan serta varian jenis bunga yang menjadi pusat perhatian para pengunjung sekalian. Lingkungan yang masih belum terkontaminasi sama sekali dengan sentuhan teknlogi apapun sehingga nuansa alam pun masih lestari di sana.
Kembali kepada konteks pariwisata, maka di sana juga terdapat Tanoagro yang dikelola oleh Tanoker team. Di tempat ini wisatawan dapat melakukan praktik langsung berupa cocok tanam, seperti halnya penanaman, penyiraman, hingga proses panen secara sistematis. Hal ini menjadi bahan edukasi bagi para wisatawan yang hanya sekedar refreshing atau bahkan melakukan hipotesa di tempat ini.
Selain di Tanoargo, wisata ini juga memiliki pusat pengolahan tembakau hingga menjadi rokok alami. Proses ini dilakukan oleh petani sekitar dengan menggunakan alat sederhana traditional sehingga hasilnya pun juga lebih sehat karena prosesnya juga alami. Para pengunjung dapat menyaksikan dan melakukan praktek pengolahan tembakau secara langsung.
Tanoker Team and Social Enterprise
Ada hal yang lebih menarik lagi dari wisata ini. Wisata ini juga memiliki komunitas pemuda-pemudi penggerak yang apresiasi terhadap perkembangan wisata serta budaya di dalamnya. Tanoker adalah sebutan untuk komunitas pemuda ini, sehingga nama kampong budaya nya pun diberi nama Kampung Tanoker.
Tanoker tidak hanya bergerak di bidang pariwisatanya saja, tetapi ada moral value yang mereka tekankan di sana. Mereka bergerak di bidang pariwisata dengan mengolah segala hal sekreatif mungkin, dimulai dari pembuatan mainan bambu hingga pembentukan suatu komunitas belajar yang diberi nama Kampung Belajar.
Kampong belajar ini disedikan untuk memfasilitasi anak-anak muda yang kurang mampu bahkan tidak bisa melanjutkan pendidikannya agar mereka tetap mampu melanjutkan study mereka walaupun dengan media pembelajaran yang sangat sederhana.
Hasil dari pengolahan ekonomi kreatif ini, mereka alokasikan kepada kampung belajar; anak-anak yang putus sekolah dan tidak mampu membiayai pendidikannya. Maka dengan begitu pembangunan ekonomi tidak hanya berkesan menguntungkan bagi pemerintah tetapi juga ada moral value berupa social enterprise di dalamnya.
Social enterprise ini tetap menjadi kultur baik di sana bahkan menjadi kewajiban paten di samping mereka menerapkan ekonomi kreatif mereka juga dituntut mengedepankan moral value sebagai bentuk sosialisasi yang baik.
Problem Fenomenologis dan Terobosan Baru
Jika dianalogikan dengan perubahan serta pergerakan suatu bangsa Indonesia, maka hal ini setara dengan apa yang dikutip dalam buku Soekarno; Indonesia menggugat “Tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tida, pasti akhirnya bangkit, pasti akhirnya bangun pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, jika ia sudah merasaka bagaimana iacelaka dan teraniaya oleh suatu angkara murkanya”.
Cuplikan kalimat diatas cukup menjadi cerminan, bahwasanya setiap bangsa akan mengalami suatu peubahan pada masanya. Dimulai dari skala besar; andaikata perekonomian Negara yang harus direvitalisasi, maka hal yang harus pertama kali diperhatikan adalah perekonomian daerah sebagai atom terkecil penyusun pertumbuhan Negara.
Etisnya, sudah kita kupas tuntas bagaimana ekonomi kreatif sangat berperan aktif dalam perwujudan Repelita dimulai dari tahap I hingga Repelita tahap III terkait perkembangan daerah yang cukup dominan prosentasenya.
Sama halnya daerah Ledokombo yang sangat konkrit sekali potensinya, dimulai dari wisata berbasis local, ecotourism, hingga ecoeducation. Maka tinggal bagaimana hal ini bisa tereksplorasi oleh pemerintah daerah pada khususnya agar mampu bersaing secara sehat dengan wisata lain di daerah Jember, terlebih mampu menjadi destinasi tingkat International. Setidaknya ada terobosan baru atau rancangan untuk ke depannya.
First planning, akses yang memadai dan mampu memfasilitasi potensi wisata di sana. Seperti halnya aplikasi online yang di dalamnya terdapat fitur akses tiket, rute perjalanan, kuliner,dan lain sebagainya agar pengunjung dengan mudah menjangkau tempat wisata tesebut melalui aplikasi ataupun media online lainnya.
Jika platform mampu mengubah keadaan aspek Negara menjadi lebih modern dan berkembang, maka seharusnya platform juga memfasilitasi minimnya akses wisata di daerah-daerah Swasembada untuk menghindari paradoks dengan daerah Swadaya yang lebih diunggulkan.
Second planning, jika wisata ini dipandang memiliki variasi potensi yang tidak hanya potensi wisata di dalamnya, tetapi juga ecoeducation maka perlunya guiding (pemandu) sebagai pemberi arah tujuan pengunjung di samping fitur untuk rute perjalanan juga dapat diakses melalui aplikasi online namun etisnya guiding ini memang ada di setiap tempat wisata.
Third planning, daerah ledokombo merupakan daerah yang agriculture, bisa dikatakan bidang pertaniannya sangat menjadikan cri khas budaya bagi daerah ini. Sample untuk sayuran cabe daerah Ledokombo masih unggul dibanding dengan daerah Jember lainnya. Perolehan pada akhir 2018 mencapai 305 hingga 400 per/kg. Maka, harus ada tindak lanjut bagaimana pemerintah daerah khususnya mampu mengolah kekayaan ini dan menjadikannya sebagai wahana ecoeducation seperti halnya pengolahan tembakau menjadi rokok yang juga ada di sekitar daerah ini.
The last planning, Tanoker adalah team yang memegang peranan penting di daerah Ledokombo ini, maka seharusnya harus ada pemberdayaan lebih lanjut kepada komunitas ini. Seperti halnya training berbasis ekonomi kreatif yang mampu menjadi bekal bagi mereka bagaimana mereka akan berkreasi ke depannya terlebih untuk pembangunan ekonomi daerah Ledokombo sendiri.
Kampung Tanoker juga merupakan object vital di daerah ini yang di dalamnya terdapat budaya tradititional berupa permainan yangjuga masih bersiat classic. Maka juga diperluka pembaharuan serta transisi permainan modern yang mampu menampilkan nuansa baru pada permainan ini dengan catatan khas traditional dari permainan ini tidak hilang, sehingga para pengunjung merasakan suasana yang dinamis di dalamnya.
Pembaharuan di atas dimaksudkan sebagai inisiatif baru serta kreatifitas agar supaya tidak ada paradoks dengan wisata lain, serta salah satu upaya pemulihan ekonomi kreatif daerah.
Jember, 27 Juni 2021
*) Penulis adalah Mahasiswa aktif UIN K.H. Achmad Shiddiq Jember.
Alamat IG: lydt.00