Membangun Peradaban Sastra Melalui TBM

0
801
Ilustrasi By Pasundanekspres.com

Karya: Muhammad Lutfi

Zaman sekarang, membangun impian dan cita-cita harus berkompetisi dengan ketat. Manusia harus berjuang untuk seluruh bagian tubuhnya, dan tidak hanya itu saja terkadang beberapa manusia harus menjadi tumpuan untuk manusia yang lain. Maka dari itu terdapat beberapa hal yang mesti kita sadari untuk menempuh jalan menuju istana impian itu. Kita sebagai manusia mempunyai dasar dari sebuah cita-cita dan impian dengan sebuah mimpi, dari mimpi membawa hadirnya harapan. Dan pada akhirnya harapan itu merupakan suatu mimpi yang indah.

Saat manusia merasakan hidup harus diperjuangkan, setiap mimpi kecil dari manusia untuk dilanjutkan agar mimpi itu menjadi besar dan terwujud. Misalkan proses bersekolah, jika kita berjuang tentu menempuh pendidikan sekolah harus dituntaskan. Perjuangan ditempuh dengan cara memahami, setiap itu yang diajarkan di sekolah. Begitu halnya kesadaran yang lain, mengaji misalnya. Kita harus bisa walau kadang harus hafal huruf arabnya saja. Namun yang terpenting segala sesuatunya harus tuntas.

Berbicara tentang cita-cita dan impian, sedikit teringat dengan gembala. Sedikit anomali untuk menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang berpikir. Kita mulai dari memahami seorang pengembala, kalau di Jawa dikenal dengan istilah cah angon. Cah angon sendiri memiliki nilai filosofis yang tinggi, cah angon harus memberikan jalan yang benar. Dedikasi tinggi yang dimiliki cah angon tidak tanggung-tanggung. Dapat dilihat dengan cara mereka merawat yang diperihara. Menggiring peliharaannya ke padang rumput, memberi makan, menyediakan tempat tinggal, dan memberikan perhatian sebagai cah angon yang baik.

Sebagai seorang pemimpi yang memiliki cita-cita dan impian budi luhur, kita harus sama gigihnya dengan seorang gembala, mencari jalan yang benar untuk mewujudkan sebuah cita-cita dan impian maka dibutuhkan konsistensi yang tinggi. Menitik beratkan permasalahan tentang sebuah cita-cita dan impian, dengan melihat fenomena yang ada. Impian membangun sebuah Taman Belajar Membaca, berlandaskan nilai filosofis dari cah angon. Memberikan membuat kesempatan, memberikan jalan, dan merawatnya agar tetap asri, konsisten walaupun mimpi ini seringkali dipandang sebelah mata namun setidaknya jika memiliki kemauan mendirikan TBM pastinya memiliki kemauan untuk membaca, untuk berpikir, dan untuk memimpin. Kita harus sadar dengan membuka jalan harus siap mengahadapi segala resikonya, memulai perubahan dari diri sendiri lalu membuat orang lain juga berubah. Tekat seorang cah angon membawa peliharaannya ke padang rumput yang luas benar-benar harus diperhitungkan bukan? Tentu agara periharaannya tidak ada yang tertinggal ataupun tersesat.

Taman Belajar Membaca merupakan suatu wadah bagi orang untuk mau membaca. Membaca merupakan bagian dari keterampilan berbasa dan bahasa sendiri merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, sebagai pemersatu bangsa, sebagai indentitas diri, maka dari itu kita perlu merawat kebahasaan. Terampil berbahasa tidak hanya berbicara, menyimak dan menulis, tetapi juga membaca. Maka dari itu saya berpikir kalau TBM ini sebagai wadah kreativitas kita. Cara kita merawat kebahasaan dengan cara membaca. Setidaknya TBM ini ada buku bacaan yang wajib dibaca. Pembaca siapa saja, boleh anak-anak, orang tua, segala usia. Jangan kita kasih batasan. Makanya batasan ini kan cuma jadi penghambat.

Zaman sekarang, seorang relawan seperti pegiat literasi sangat sedikit. Walau di setiap kota dan daerah pasti ada. Tetapi kita tidak tahu ada peminat atau tidak dalam menggerakkan literasi ini. Karena literasi sudah menjadi hal tabu bagi kehidupan manusia. Terutama untuk membaca naskah di buku. Karena manusia saat ini sudah maju, semuanya serba mudah salah satu buktinya kini membaca bisa melalui gawai masing-masing. Jadi, informasi yang kita terima lebih cepat. Tentu minat baca manusia juga lebih tinggi, tingkat melek huruf juga lebih tinggi dan meningkat.
Tetapi, peran adanya pelestarian buku dan literasi teks jadi berkurang. TBM hanya jadi tempat untuk bermain, belajar, bernaung dan les. Masih kurang adanya fungsi nimbrung atau jagong. Jadi kita perlu diskusi tentang segala hal di TBM. Kita perlu adanya diskusi buku dan naskah, saling cerita, supaya tradisi lisan, non lisan, kenaskahan ini seimbang. Manusia jadi meningkatkan minat baca. Supaya konsumsi literasi dan penangkapan pengetahuan manusia jadi luas. Setelah itu, kemampuan menulis. Jadi, kita punya hal-hal yang bisa ditingkatkan. Terutama hal dalam bahasa atau literasi.

Kalau untuk TBM di Desa, memang masih sulit dijalankan. Masyarakat desa menyukai hal yang berbau lisan dan kurang suka dengan dunia teks. Dunia non lisan, atau tertulis ini masih tabu bagi sebagian masyarakat kita. Karena ini tentang dunia inspirasi, imajinasi, pengetahuan, juga wawasan yang ada dalam teks. Jadi, fungsi dari literasi ini, kita menyerap segala wawasan, pikiran, pengetahuan dari orang lain yang sudah melalui berbagai hal.

Enaknya kita, sebagai orang yang sudah memiliki TBM, kita punya tempat menyalurkan minat. Menyalurkan tanda suka dan keindahan dari berbagai hal yang berputar di literasi. TBM bisa menjadi fungsi perpustakaan mini di Desa untuk sekedar tempat mencari informasi di buku. Kalau ada petani yang lupa cara bikin pupuk, dan penyakit tanaman, bisa buka buku. Kan enak.
Tetapi, fungsi lebih luasnya lagi adalah mengimbaukan kesadaran orang lain untuk mau menjaga TBM dan merawatnya. Bahkan, anak-anak di Desa sukar untuk diajak membaca tentang buku-buku di TBM. Ini kan masih jadi hak yang menurut saya kebiasaan. Jadi, kebiasaan ini perlu dilatih, ada inspirasi, dan konsep, biar matang, dan juga tidak memuakkan ketika dilakukan atau dijalankan.

Pati 2022

***Tentang Penulis: Muhammad Lutfi ini lahir di Pati, 15 Oktober 1997. Alamat rumah; Desa Tanjungsari, Rt.01/ Rw.02, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.

 

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here