Namaku Dara, Ini adalah ceritaku di sepanjang lereng gunung bersama teman-temanku.
“Ayo Des semangaaat, ayok semuanya” teriakan Rico yang saat itu barada di paling depan, dan kebetulan menjadi leader dalam perjalanan itu.
“Go, go finish” beberapa teriakan teman lainnya juga terdengar saling menyemangati satu sama lain.
Kami semua adalah mahasiswa yang ada dalam naungan salah satu kampus yang berada di Indonesia. Di hari libur, kami meluangkan waktu untuk berjalan menelusuri hutan dan sungai-sungai.
Puncak, itu adalah tujuan kami semua, dan bagiku selama perjalanan itu adalah petualangan untuk menambahkan memori yang akan menjadi sebuah kenangan seumur hidup, jadi menurutku tidak ada yang boleh terlewatkan dari semua perjalanan itu.
“Break please…!” Aku teriak minta break untuk sekejap membungkukkan badanku, dengan posisi carrier tetap berada di atas punggungku, Ini adalah perjalanan terjauhku dan ini juga kali pertama aku mendaki gunung.
“Ayok” suara dan tawaran tangannya membuatku melotot ke bumi tiba-tiba, ingin ku gapai uluran tangannya dengan cepat, namanya Brian salah satu temanku dan juga orang yang aku perhatikan dari aku baru menjadi mahasiswa, dan selama itu kita tidak pernah saling bicara.
“Oh, tidak terimakasih, aku masih bisa kok” jawabku dengan napas ngos-ngosan sok kuat.
Sangat tidak mungkin jika aku harus dengan cepat meraih tangannya, dia adalah cowok terdingin yang pernah ku temui selama jadi mahasiswa. Cool boy, itulah sebutan dari orang-orang di kampus pada Brian. Hanya senyum tanpa sekatapun dia langsung jalan lagi menyalip kedepan. Dan kami semuapun melangkah lagi meneruskan perjalanan. Perjalanan ini sangat seru tapi luga sangat melelahkan, lucu, bahagia, marah, takut, sakit, dan beberapa perasaan lainnya yang tak bisa aku sebut satu persatu, semuanya ada tanpa harus memesannya, semuanya seakan berputar tanpa menemukan titik pemberhentian.
Hari sudah setengah gelap, kita sampai di puncak tepat waktu tepat dimana matahari melambaikan sinarnya untuk kembali terbenam, seperti biasa matahari menampakkan keindahannya sebelum benar-benar terbenam. Waktu senja, begitulah orang-orang menyebutnya, beberapa dari teman-teman sibuk selfi dan foto-foto , sedangkan aku sibuk dengan dunia dan pikiranku sendiri, menatap pemandangan di berbagai sudut dari atas gunung, dari pemandangan kaki gunung, laut dari ketinggian hingga gumpalan awan yang sebagian berada di bawahku, “Ah rasanya tidak ingin pulang dan membangun rumah disini” pikirku dalam hati.
“Dar, ayo sini” teriakan Rico mengejutkanku.
“Foto bersama kita” ujarnya lagi. Ah, Rico dia ganggu semediku saja, batinku.
“Hey ayo semuanya kumpul sini” beberapa teman lainnya menambahkan, akupun dan teman-teman lainnya menghampirinya untuk foto bersama, termasuk brian yang memang dari tadi tidak ngumpul bareng juga. Pas banget, dia foto berdiri di sebelahku, tapi aku harus tetap cuek biar tidak kelihatan bahwa betapa girangnya aku berdiri di sebelahnya.
“Puas-puasin foto ya,kita harus turun sebelum benar-benar gelap” kata Rico selaku leader.
“Ok siap” jawab beberapa teman lainnya.
Karena sudah keburu gelap kita terpaksa harus turun dari puncak, beberapa pendaki lainnya juga banyak yang sudah turun, kami semua turun dengan cahaya senter masing-masing,
karena kita sudah sangat letih dan belum sampai ke pos juga, kami sepakat bermalam di sekitar itu saja, kita semua mencari tempat yang datar untuk membangun tenda disana, dengan cepat-cepat membangun tenda untuk segera istirahat karena kita perjalanan dari tadi siang,
Empat tenda sudah berdiri, aku satu tenda sama dua teman perempuanku yaitu Dea dan Windi, aku membaringkan tubuhku sejenak dalam tenda, beberapa teman yang lain ada yang membuat api untuk menghangatkan badan, karena sebagaimana sebagian orang banyak tau betapa dinginnya di alam bebas apalagi di daerah pegunungan.
“Permisi” tiba-tiba seseorang mendatangi tendaku. Dia memang jarang bicara tapi suaranya aku sangat menghafalnya “Ah aku ajaib sekali” pikirku dalam hati. Lalu aku menghampirinya
“Iya,kenapa?” tanyaku pada Brian di depan pintu tenda,
“Senterku jatuh tadi pas mau turun, aku boleh pinjem senternya untuk cari kayu?” kata Brian dengan khas suaranya yang lembut.
“Oh iya ada, tunggu bentar aku ambil” jawabku dan langsung masuk tenda, lalu mengambilnya dalam carrier, karena sudah sempat aku masukin lagi tadi
“Ini” aku menyerahkan senternya kepada Brian.
“Ikut kali dar, kasian berian sendiri” celetuk Windi dari dalam tenda.
Aku dan Brian saling memandang dan sama-sama diam sejenak.
“Boleh?” tanyaku beranikan diri.
“Boleh-boleh aja” jawabnya singkat.
“Ya sudah ayok” ujarnya lagi
Kita pun berangkat mencari kayu dan beranjak meninggalkan tenda
“Mm, Kita mau cari kemana?” tanyaku memulai pembicaraan biar tidak terlalu sepi.
“Sekitaran sini aja kok” jawabnya masih dengan wajah dinginnya.
Pikiranku kemana-mana, dia tetap tidak berusaha memulai bertanya lebih dulu, sedangkan aku bingung mencari topik yang pas, sepanjang itu detak jantungku seakan dipenuhi orang-orang club malam remai dan berasa ada ruangan gempa.
Setengah pencarian aku berusaha bicara lagi, karena dari tadi terasa sepi hanya suara potongan kayu ketika aku dan Brian menemukan kayu yang agak besar.
“Kamu orangnya emang jarang bicara ya?” tanyaku lagi, pertanyaan yang dari awal ingin aku pertanyakan akhirnya aku keluarin juga.
“Hah?” katanya bingung, dengan responnya yang seperti itu sepertinya aku salah waktu untuk menanyakan hal itu sekarang.
“Ah Daraaa baru aja ngobrol” seruku dalamm hati penuh kesal.
Aku hanya diam, sehingga Brian angkat bicara lagi.
“Enggak, mungkin aku hanya belum kenal aja, di rumah aku sama orang tua sering ngobrol kok”
“Haah? dia sedang ngelawak atau gimana, yang benar saja, masa iya kumpul sama orang tuanya hanya diam, kan emang gak mungkin” pikirku dalam hati.
“Iya, maksud aku tuh aku emang males kalo bicara sama orang baru gitu, bukan berarti sombong ya, aku hanya takut aja gitu gak sefrekuensi” dia menjelaskan lagi dengan panjang lebar, betapa leganya aku, karena dia benar-benar bicara, baru kali ini dia bicara dengan wajah tidak dingin.
“Ooh” jawabku singkat membalas.
“Emang mau kenal lebih jauh?” tanyanya tiba-tiba dengan senyum.
“Hah?” aku melototi wajahnya yang manis itu.
“Maksudnya?” tanyaku lagi lebih jelas,
“Yaa, maksud aku kenalan gitu biar nanti aku bisa ngomong sama kamu, kenal bukan hanya sekedar teman kampus tapi juga teman ngobrol, atau lebih gampang ke sebutan sahabat gitu” jawabnya jelas, aku pikir dia mauuu,,, ah aku GR nih.
“Aku udah kenal kamu, nama kamu juga sudah tau, tinggal program ceritanya dimulai dari mana” kataku pura-pura polos.
“Mmm oke” katanya menyetujui.
“Eh kayaknya kita harus balik ke tenda deh” ujarku karena sudah terlalu lama mencari kayu,
“Eh iya, anak-anak pasti nungguin, ceritanya kita lanjut nanti aja disana” katanya, aku sempet gak nyangka seorang Brian cool boy kampus mau bagi cerita sama aku.
Dengan penuh rasa gembira akupun melangkah di belakang brian untuk kembali ke tenda, dan menghampiri anak-anak yang lain disana
Setelah api berhasil dinyalakan kami semua duduk ditepi api itu, bercanda dan tertawa mengisi kesunyian di tempat itu, kesunyian yang biasa aku rasakan dirumah ketika gelapnya malam kini aku tak mendapatkan di malam itu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di sana, karena berkesempatan duduk disamping brian seorang cool boy kampus. Aku dengannya meneruskan topik yang tadi waktu kita mencari kayu, aku dengannya mulai bertukar cerita kehidupannya masing-masing, ternyata dibalik kebisuannya di kampus dia sedikit lucu hingga membuatku tertawa sesekali, ah rasanya aku tidak ingin tidur dan hanya mau bercerita saja sambil menatap wajahnya yang bening itu sepanjang malam, batinku entah pada siapa.
Anak-anak sudah mulai angkat pantat pindah tempat, dua teman setendaku juga sudah kembali ke tenda, sedangkan aku masih asik ngobrol dengan Brian di pinggiran api.
“Dar, kamu gak mau tidur aja?” kata Rico yang sambil menyeduh kopinya, selain jadi leader perjalanan ini, dia juga teman sedari kecilku, rumah kita sebelahan, jadi tidak heran dia selalu perhatian padaku, dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, karena dia sangat perhatian, layaknya perhatian seorang kakak pada adik perempuannya.
“Iya bentar lagi” sahutku singkat.
“Kamu juga Rin, Del, istirahat gih. Besok kita pagi sudah harus packing” ujar Rico lagi-lagi pada Karin dan delia yang juga salah satu temanku tapi beda tenda dan kebetulan belum juga beranjak dari tempat duduknya di pinggir api yang masih menyala.
“Iya Ric, aku juga sudah sedikit ngantuk” kata Delia
“Iya aku juga nih” tambah Karin, mereka berdua pun kembali ke tenda, di luar tenda hanya tinggal aku, Brian, Rico dan beberapa teman cowok lainnya.
Aku sama Brian masih belum beranjak dan tetap sibuk cerita-cerita, aku cerita panjang lebar tentang kehidupanku, begitu juga dengan Brian, hingga dia sempat bilang bahwa aku adalah teman pertama ceweknya yang benar-benar dia bagiin cerita setelah sekian lama dia sudah tidak lagi bersahabat dengan seorang perempuan. Hmm berarti pernah dong, tapi bodoh lah sudah tidak lagi sekarang.
“Eh Dar, ini sudah larut malam, kayaknya benar deh apa kata Rico, kamu harus istirahat, biar gak terlalu capek” kata Brian padaku.
“Mm okelah, kamu nggak?” kataku bertanya.
“Iya nanti” kata Brian singkat, aku langsung kembali ke tenda dan istirahat. Ternyata malam memang akan kembali ke habitatnya yaitu kesunyian, sebagaimana banyak orang bilang, malam itu diidentik dengan kesunyian dan kepekatan, seperti penglihatanku di dalam tenda, pekat, sebab aku menutup mataku dengan pikiran yang belum kosong karena masih terisi oleh kebersamaan bersama brian sejak tadi.
Ternyata dalam kesadaran, waktu tidurku tidak begitu banyak, hari sudah pagi kami semua bersiap-siap untuk turun dan pulang.
***
Aku pulang membawa kenangan bersama brian, bersama teman-teman lainnya dan juga bersama pejalananku sendiri, di waktu sesingkat itu mampu membuat kenangan seindah itu, mampu mengalahkan kenangan-kenangan lain yang pernah aku lewati sebelumnya, membuatku tersenyum-senyum sendiri ketika mengingatnya, lepas dari perjalanan itu aku tidak berhenti berbicara dengan Brian, sebab dia sempat meminta nomer ponselku pada malam itu, sekarang aku terbiasa ngobrol bersama brian di kampus maupun lewat via telpon, dan sesekali dia menjemputku dan berangkat bersamanya ke kampus. aku dan brian benar-benar jadi sahabat, tempat aku pulang untuk bercerita, dan berharap selamanya menjadi tempatku pulang, sebab itu aku suka melewati perjalanan itu lagi dengan cara mengingatnya kembali lorong-lorong itu.
***Penulis_adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, aktif berkegiatan di MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam).