Pendidikan merupakan instrumen terpenting dalam membangun sebuah peradaban. Karena, pendidikan menjadi wadah perkembangan yang terstruktur dan terkonsep dengan matang.
Pragraf Itulah yang menjadi awalan dari tulisan saya. Barangkali, tulisan ini akan sedikit menggelitik dan membuat nyilu perut. Tapi, mari baca dengan pelan dan pemikiran sederhana.
Semua berawal dari cita-cita seorang anak kecil mungil di bangku sekolah dasar. Saya selalu bercita-cita menjadi seorang guru. Karena, guru adalah pahlawan tanpa jasa, katanya. Kata-kata bijak itu menghipnotis saya dan membakar semangat untuk juga menjadi guru.
Sederhana sekali, seperti pahlawan tanpa jasa, saya pikir guru hanya bertugas memberi pengetahuan tanpa syarat. Mewariskan pengalaman di depan kelas dengan cara yang juga sederhana. Memberi contoh tingkah laku baik seperti para nabi dalam perlajaran agama. Namun, semua berubah ketika saya mulai benar-benar mengejar cita-cita sewaktu kecil itu.
Pendidikan bukan hanya persoalan transfer pengetahuan antara pendidik dan peserta didik, tapi lebih jauh pendidikan merupakan sebuah wadah manajemen administratif yang baik.
Menjadi guru, tidak sederhana dan sebebas yang dipikirkan. Predikat guru tidak bisa didapatkan begitu saja. Terdapat peraturan yang mengatur kualifikasi guru. Seorang guru harus memenuhi standar yang telah diatur oleh pemerintah. Peraturan itu dibuat untuk mencipatakan pendidikan yang baik dan terjaminnya peserta didik dalam menempuh pendidikan.
Peraturan tentang kualifikasi guru, tertuang dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen yang kemudian di revisi menjadi undang-undang nomor 74 tahun 2008, hingga disempurnakan menjadi undang-undang nomor 19 tahun 2017.
Undang-undag tersebut secara rinci menjelaskan tentang kualifikasi guru. Dapat dilihat dalam Pasal 9, bahwa Kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Secara sederhana, seorang guru harus mempunyai ijazah minimal S1.
Peraturan itu tak hanya mengatur seorang guru. Sebagai sesama pendidik, dosen juga diatur dengan jelas oleh pemerintah. Pasal 46, menjadi penjelas bahwa seorang dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
Batasan minimum tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menjadikan pendidikan menjadi lebih baik. Karena, seorang pendidik memang seharusnya satu atau dua tingkat di atas peserta didik, baik dalam persoalan pengalaman dan pengetahuan.
Menjadi lucu, jika kualifikasi guru sama-sama lulusan sekolah seperti murid dan sama-sama sarjana bagi seorang dosen. Tanpa meragukan pengetahuan dan pengalaman, aturan yang telah ditetapkan merupakan kewajiban dari setiap warga atau instansi yang ada di bawah naungan Republik Indonesia untuk menaatinya. Terkecuali siap dengan konsekuensi yang akan terjadi.
Jika dikaji lebih mendalam, persoalan kesamaan jenjang pendidikan antara seorang pendidik dan peserta didik, sebenarnya dapat mengganggu aktifitas pembelajaran. Kerana tidak jarang seorang peserta didik cenderung meremehkan pendidiknya yang satingkat dirinya. Tentunya masih banyak problem yang timbul dari problem tersebut.
Menjadi semakin rumit, saat pendidikan sudah tidak punya sistem yang jelas, saat pamangku kebijakan tutup mata dan telinga terhadap peraturan yang diatur pemerintah. Terlebih pendidikan memang seharusnya menjadi patokan dalam persoalan ketaatan administrasi.
Seorang pendidik yang tidak punya kualifikasi, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tentang guru dan dosen merupakan kecacatan pendidikan yang barangkali terstruktur. Kenapa demikian? Ketidaktaatan adminstrasi tersebut terjadi karena beberapa kemungkinan—bukan terjadi begitu saja.
Pertama, instansi yang menerapkan mekanisme atau mengangkat seorang pendidik yang tidak mencukupi standar minimum, adalah instansi dengan beranggotakan orang-orang sibuk. Sehingga kesibukan yang tiada banding itulah yang membuat mereka tidak sempat membaca dan memahami peraturan pendidikan yang ditetapkan pemerintah.
Jika benar demikian, maka menjadi maklum, mungkin. Karena orang-orang sibuk yang tidak sempat membaca harus dimaklumi dengan baik. Apalagi mereka adalah orang bijaksana dan adikuasa.
Kedua, penetapan seorang pendidik yang tidak mencapai standar minimum, dapat disebabkan oleh instansi tersebut tidak punya peraturan yang jelas dalam mengatur mekanisme pengangkatan guru atau dosen.
Apakah itu juga bisa dimaklumi? Saya rasa bisa-bisa saja, dengan berlandaskan ketidak tahuan dan kurang pengalaman. Sebagaimana pelajaran yang selalu diwariskan oleh pendahulu saya (red, guru) orang yang tidak tahu dan lupa harus selalu dimaklumi.
Ketiga, terjadinya pengangkatan guru atau dosen yang tidak mencukupi standart minimum, dikarenakan adanya praktik dinasti politik. Seperti yang terjadi pada kasus ke Kaisaran Sambo yang masih heboh hingga hari ini. Praktik ini biasa terjadi dikarenakan adanya orang dalam yang punya jabatan kuat dalam satu instansi. Sehingga kerabat atau kenalan orang dalam yang kuat dalam instansi tersebut, dengan mudah masuk tanpa harus melewati prosedur yang ada.
Kemungkinan ketigapun masih bisa dimaklumi di negeri +62 tercinta ini. Realitas dinasiti politik menjadi rahasia umum, dan semua orang memakluminya dengan berat hati. Mereka menerima sembari menggerutu dan merasa terkerdilkan.
Meskipun ketiga kemungkinan tersebut dapat dimaklumi oleh beberapa orang yang tidak sadar. Bagi saya, persoalan pendidikan harus benar-benar diperhatikan dengan seksama dalam segala aspek. Baik dari materi, tenaga pendidikan, dan pendidiknya. Sehingga praktik pengangkatan pendidik yang tidak mencukupi standart minimum tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun.
Problem jeruk makan jeruk tersebut, tidak boleh terjadi di kampus yang sangat saya cintai ini. Semoga saja.
*Penulis yang sedang dicetak menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia