GORYA’S DIARY

0
336

Catatan Harian Gorya

Aku tidak setenang itu, setiap hari bertengkar dengan isi kepala, aku hanya ingin belajar bagaimana mengendalikan perasaanku.

***

Kamu tahu kenapa aku suka hujan? Jawabannya cukup sederhana karena aku suka ketika aku kedinginan, meringkuk dan punya kesempatan untuk memeluk diri sendiri.

Gorya, bagaimana hari ini?

Ah, lagi-lagi sebuah pesan masuk dari orang yang sama. Orang baik yang selalu menanyakan kabarku, orang yang selalu siap mendengar keluhku, orang pertama yang selalu aku hubungi ketika aku membutuhkan sesuatu. Orang yang menyukaiku, mungkin? Atau aku juga menyukainya? Entahlah, aku juga tidak yakin tentang hal itu.

“Thyme, apa aku terlalu menyusahkanmu?”, Pertanyaan itu tidak asing dia dengar, hampir tiap hari aku dengan pertanyaan yang sama. Dengan santai dia menjawab,

“Jangan sungkan. Jika itu tentang kamu mana mungkin aku mengabaikannya?”, Dan ya, dia bermulut besar, aku ingin sekali merobek mulutnya itu.

***

“Udah mau pulang?”, Tanya Thyme ketika kami tidak sengaja bertemu di parkiran sekolah

“Iya nih mau langsung pulang, takut keburu hujan”,  Jawabku tak lupa dengan senyum paling manis yang aku punya.

“Mau aku antar?”, Tanyanya lagi

“Gapapa, aku bisa pulang sendiri”, Aku menolaknya dengan halus entah yang ke berapa kali dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku ingat bahwa dia punya kebiasaan nongkrong di kantin sebelum pulang bersama teman-temannya jadi, aku tidak ingin jadi pengganggu.

“Tapi ini udah mau hujan, kalo kehujanan bagaimana?”

Apa dia menghawatirkan aku? Emm, aku tidak sepercaya diri itu.

“Gapapa, hujan kan masih air”, Candaku diiringi dengan tawa renyah dari mulutnya.

“Kalo tiba-tiba kamu jadi mermaid?”, Dia balik bercanda

“Udah ah, aku pulang dulu” Aku segera berpamitan karena sebentar lagi hujan akan turun.

“Ya udah hati-hati Gorya. Kalo ada apa-apa jangan lupa calling-calling”, Ucapnya sambil melambaikan tangan.

***

Hari kian mulai gelap, tapi aku belum menemukan siapapun di rumah kecuali ungie kucing piaraan yang sedang bereproduksi dengan kucing tetangga.

“Aish shiball”, Umpatku lalu melempar asal sling bag yang aku bawa. Aku melangkahkan kaki menuju kulkas mengambil soda kaleng yang sudah menjadi minuman favoritku.

Dulu, aku sering bertanya bagaimana orang-orang menghadapi kesepian. Tanpa aku sadari bahwa sebenarnya pertanyaan itu untukku. Dua tahun terakhir ini aku mulai menepi, mulai menjauhi orang-orang, tidak terlalu berinteraksi dengan banyak orang karena entah mengapa hatiku mulai goyah ketika mendengar perkataan yang menyakitkan yang berkedok candaan. Awalnya memang biasa saja tapi semakin jauh, ucapan mereka keterlaluan.

Sewaktu aku masih kecil aku kerap kali mendengar ocehan orang-orang tentang aku.

“Si perut besar!”

“Si hitam!”

“Si pemarah!”

“Gorya kok jelek banget ya? Ga mirip sama bapak ibunya”

“Jangan-jangan dia anak pungut hahaha”

Gorya kecil hanya tersenyum menanggapi omongan mereka. Padahal jauh di lubuk hatinya dia terluka tanpa orang-orang tahu. Bagaimana tidak sakit? Sedangkan perkataan itu keluar dari mulut keluargaku dari pihak ibu.

“Jangan di ambil hati, mereka hanya bercanda”, Dengan pelan, ibuku berbisik di telingaku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Dewasa ini aku mengubur lukaku di masa kecil, aku benar-benar menguburnya di kedalaman. Namun, semuanya percuma sebab ada beberapa di antara mereka yang mengorek luka itu.

“Kamu butuh skincare ga? Kamu kan gelap hahahha”

Tidak ada yang salah dengan yang mereka ucapkan sebab mereka membicarakan tentang fakta bahwa aku terlahir berbeda. Aku tahu itu bahkan tanpa mereka jelaskan.

Aku tahu Tuhan maha baik, aku tahu Dia merencanakan sesuatu yang indah untukku. Suatu waktu, aku pernah bermimpi hal yang menurutku sangat istimewa tapi, apa mereka perlu tahu tentang mimpi itu? Tidak! Aku hanya mau menikmati mimpi itu sendirian, aku akan membawa mimpi itu kemanapun aku pergi. Bagiku, mimpi itu adalah penguat ketika aku rapuh. Akhirnya aku sadar bahwa perbedaan itu tidak terlalu buruk.

Tuhan, apa aku salah ketika aku berpikir bahwa aku adalah salah satu orang pilihan?

Tidak sedikit orang yang menyebutku ‘si antagonis’ karena katanya ekspresi yang aku bawa setiap hari seperti hendak mengajak mereka untuk ribut. Lalu, bagaimana aku harus bersikap? Menjelaskan kepada mereka bahwa aku sebenarnya bukan orang yang seperti itu? Apa itu penting? Mereka tidak perlu tau siapa aku kan? Seperti yang Thyme katakan bahwa setiap orang punya asumsinya masing-masing jadi kita tidak perlu mendengarkan ucapan mereka yang tidak perlu.

Aku terkejut ketika mendengar sesuatu pecah di lantai atas. Aku bangkit dan mengecek jam tanganku, pukul 18:07.

Lagi-lagi aku tertidur di sofa.

Aku benci ketika tidurku di ganggu.

Aku mulai menaiki tangga satu persatu untuk mencari sesuatu yang pecah tadi. Dan benar, gucci yang seharga jutaan pecah berserakan di lantai untuk yang ke sekian kalinya. Aku menghampiri seekor kucing liar yang sedang menatapku lalu mengusirnya hingga benar-benar pergi.

Gorya, aku didepan rumahmu. Tolong buka pintunya.

Aku bergegas menuruni tangga ketika menerima pesan itu untuk yang ke sekian kalinya.

“Thyme, kamu sejak kapan ada disini?” Tanyaku ketika mendapati Thyme tersenyum lebar.

“Seperti biasa, aku bawain kamu makanan. Kamu belum makan kan? Kamu pasti cuma minum soda kaleng kesukaanmu itu” Tanpa diminta, Thyme menerobos memasuki rumahku.

“Aku kan bisa masak Thyme” Ucapku sambil berjalan di belakangnya.

“Ini aku bawa martabak, seblak, bakso ada kebab juga sama nasi ada” Thyme mulai mengeluarkan makanan yang terdapat pada kresek tersebut.

“Kok banyak banget?” Tanyaku.

“Bukan cuma kamu doang yang laper, aku juga kali”

“Kirain kamu ga pernah laper Thyme” Ujarku bercanda.

“Oh ya, lain kali aku mau nyoba nasi goreng buatan kamu dong”

“Nasi goreng?” Tanyaku heran

“Iya, kamu kan pernah bilang kalo kamu sering makan nasi goreng” Ujar Thyme menjelaskan.

“Oh nasi goreng yang itu” Aku mengangguk mengerti.

***

Gorya, ayo sesekali keluar aku yang bakal traktir.

Beberapa kali Thyme mengajakku keluar hanya sekedar menghirup udara atau hanya makan makanan pedagang kaki lima karena katanya aku hampir tidak pernah keluar rumah kecuali pergi ke sekolah. Beberapa kali juga aku menolaknya, aku tidak pernah sekalipun menerima ajakannya.

Ayolah Gorya, kali ini aja.

Aku merasa bersalah sebenarnya, tapi aku juga tidak mau menjadi terbiasa. Ada sesuatu yang sangat aku khawatirkan.

Ga cape ya tiap hari rebahan mulu? Malmingan kek sesekali.

Sekeras apapun Thyme memaksa aku juga menolak dengan keras. Ada ketakutan yang tersimpan dalam diriku.

Aku males kemana-mana Thyme.

Seminggu berlalu, setelah aku melewati sekumpulan orang-orang yang sedang mengobrol aku sedikit mendengar obrolan mereka yang membuatku sedikit tidak percaya.

“Kamu tahu? Thyme itu orangnya baik banget ya. Kemaren aku ga sengaja ketemu sama dia, terus nawarin aku buat pulang bareng dong, awalnya aku nolak karena aku malu banget . Tapi aku menyukainya sejak lama si, jadi akhirnya aku mau”

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku sedikit terluka, tapi aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa bagi Thyme. Mungkin baginya aku hanya seorang teman yang kesepian, seseorang yang terjebak pada luka masa lalunya, seseorang yang lukanya masih belum sembuh.

Ternyata, selama ini aku salah paham sama sikap kamu Thyme.

Aku terlalu gegabah menyikapi semua yang terjadi.

Gorya, kamu kenapa?

Entah yang ke berapa kali Thyme menanyakan hal yang sama dan ‘gapapa’ tetap menjadi jawabanku. Aku tidak punya alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Sejak saat itu aku mulai menjauh dari Thyme, aku tidak lagi menjawab pesannya dengan sigap, aku bahkan menghindari hal-hal yang berurusan dengan Thyme, aku juga berusaha untuk tidak melibatkan Thyme dalam urusanku. Aku harus benar-benar terbiasa tanpa Thyme, aku mulai sadar bahwa aku terlalu berlebihan selama ini, aku lemah bila itu tentang perasaan. Lalu, apa aku pantas bersikap seperti itu? Membiarkan Thyme yang mungkin kebingungan karena sikap aku yang tak se antusias dulu, kemungkinan Thyme akan merasa bersalah. Atau bahkan dia tidak pernah kepikiran sama sekali?

Aku harus berdamai!

“Thyme!” Aku memanggil Thyme yang sedang memarkir motornya di parkiran, dia menoleh kemudian menghampiri ku dengan senyum lebar di bibirnya.

“Mau ikut ke kantin?” Tanyanya

“Emm, boleh” Aku rasa ini kesempatan buat minta maaf ke Thyme karena sikap aku ahir-ahir ini.

“Tumben mau” Thyme meledekku.

“Ya udah ga jadi” Candaku hendak berbalik arah.

“Eh?” Thyme menahan pergelangan tanganku agar tidak pergi.

Ketika tiba di kantin, kami memesan makanan yang menjadi makanan favorit kami_Hampir sama.

“Thyme, maafin aku ya” Aku memulai percakapan untuk memecah keheningan.

“Kenapa minta maaf?” Tanya Thyme mengangkat sebelah alisnya.

“Engga sih, cuma minta maaf” Tiba-tiba keadaan menjadi hening dan itu membuat ku canggung beberapa saat.

“Thyme, coba deh kamu lihat cewek yang duduk di sana” Aku menunjuk salah satu cewek yang sedang duduk tak jauh dari mejaku.

“Kenapa?” Tanyanya heran

“Dia suka loh sama kamu” Setelah mengatakan itu rasanya benar-benar nyesek banget entah mungkin karena aku kebanyakan makan gorengan.

“Terus?” Thyme terlihat biasa-biasa saja.

“Cuma ngasih tahu” Jawabku acuh

“Kalo aku sukanya kamu?”

“Thyme?” Aku mengernyit

“Kamu kira ini hanya lelucon? Kamu tahu aku….”

“Udah Thyme” Aku memotong perkataannya, aku tahu kalimat apa yang akan dia katakan karena bukan hanya kali ini saja dia mengatakannya.

“Gorya, aku tahu kamu masih belum sembuh dengan luka masa lalu mu. Tapi, sampai kapan kamu seperti ini? Membiarkan dirimu sendiri terjebak dalam luka yang sampai saat ini kamu terus membawanya. Kamu harus sembuh Gorya. Kamu tidak boleh terus-terusan kayak gini”.

“Thyme tolong berhenti ” Aku benar-benar memohon agar Thyme menghentikan perkataannya.

“Kenapa? Kamu bukannya takut untuk memulai tapi kamu terlalu memikirkan akhirnya. Kamu takut endingnya akan sama? Tolong jangan pernah berpikiran seperti itu. Kamu hanya perlu melihat kedepan tanpa peduli hal-hal yang dibelakang”

“Udah?” Tanyaku sebagai tanggapan.

“Gorya..”

“Thyme, kamu tahu? Sejak saat itu aku mulai membenci diriku sendiri, aku benci diriku yang mudah terbawa perasaan. Kamu tahu? Aku menolak perasaan ku sendiri padahal aku tahu ini nyata. Aku benci Thyme, aku terlalu penakut. Aku takut hal-hal yang lalu terulang. Aku mati-matian bangkit tanpa bantuan orang lain untuk menyembuhkan lukaku tapi aku selalu gagal. Nyatanya, aku selalu membawa luka itu hingga detik ini. Aku takut kamu juga ikut terluka Thyme” Sesak mulai menggerogoti tubuhku, aku selalu menghindari hal-hal yang mengungkit luka lama.

“Makasih ya Thyme udah baik sama aku selama ini. Aku yakin yang menjadi pasanganmu pasti bangga punya kamu, kamu juga harus bahagia”.

 

#IfAgustD merupakan mahasiswa aktif di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) semester V.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here