Hari Kebebasan Pers, Realita Pahit di Balik Industri Media

0
214
PENAYANGAN: Suasana saat pemutaran film Cut to Cut (Miftah/Mediaretorika.com) Sabtu, (03/05/25).

MEDIARETORIKA.com–Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menggelar Nonton Bareng dan Diskusi Film: Cut to Cut, untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia. Bertempat di Niscala Cafe Jl. KH. Mansyur, Sumenep, Madura. Sabtu malam, (03/05/25).

Film yang disutradarai oleh, Miftah Faridl itu mempertontonkan bagaimana sejumlah mantan jurnalis CNN Indonesia, termasuk dirinya, dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan.

Mulai dari pemotongan upah hingga 40% tanpa adanya kejelasan, finalnya,  sampai Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) yang dilayangkan CNN Indonesia kepada sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI).

Itu semua dipertontonkan dalam film dokumenter Cut to Cut pada acara tersebut.

Acara itu menghadirkan 3 narasumber, yakni: Miftah Faridl selaku Sutradara Cut to Cut, Moh. Rifai dari Komisi Informasi Kabupaten Sumenep, serta, Moh. Busri selaku jurnalis dari Madura Indepth.

Dalam diskusi setelah penayangan film, Miftah Faridl yang juga merupakan eks jurnalis CNN Indonesia menyampaikan perjuangannya dalam melawan perusahaan tempat ia dulu bekerja. Sebab, perusahaan itu dianggap berbuat tidak adil terhadap dirinya dan teman-temannya yang tergabung dalam SPCI.

“Kami mendirikan SPCI untuk menghimpun kekuatan dan merebut kembali apa yang mejadi hak kami,” ungkapnya.

Meski sebagian besar anggota SPCI di-PHK tanpa kejelasan, pihaknya bertekad akan tetap melanjutkan perlawanan demi menegakkan keadilan yang dilanggar oleh perusahaan terkait. 

“Kami tidak tinggal diam. Kami menolak tunduk pada kekuasaan pemilik media, termasuk Chairul Tanjung,” tegasnya.

Miftah menambahkan, jika hanya diam pada ketimpangan yang terjadi, itu seperti menumbuh suburkan budaya kekerasan, khususnya di struktur industri media.

“Bila kita diam terhadap perlakuan semena-mena seperti yang dilakukan CNN Indonesia, bukan tidak mungkin hal yang sama akan menimpa jurnalis lain di masa mendatang,” ujarnya.

Dirinya juga menyayangkan sikap perusahaan yang dinilai menjadi simbol perlawanan dalam berbagai tindak ketidakadilan. Pasalnya, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang disimbolkan.

“Ironis, di dalam perusahaan yang paling depan menyuarakan keadilan dan hak asasi, ternyata justru ada buruh yang dirampas hak-haknya,” katanya.

Senyampang dengan hal itu, AJI Surabaya, dalam pernyataan resminya mengatakan jika hak jurnalis sebagai pekerja tidak turut diperjuangkan, maka pembelaan kebebasan pers tidak akan pernah utuh.

“Jurnalis adalah buruh. Dan setiap buruh memiliki hak yang wajib diperjuangkan,” tegas pernyataan itu.

Reporter: Miftah

Editor: Viki

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here