A Story Of Hope

0
1765
Ilustrasi by m.bola.com

Oleh: Siti Nur Khotijah*

Bermimpilah, dan biarlah semesta

Berkonspirasi untuk mewujudkannya….

Namaku Jingga, dilahirkan di sebuah keluarga yang sangat menyukai kesederhanaan dan hidup dalam kemampuan yang kami miliki seadanya. Ayah pernah berkata “Lebih Baik Kita Dikatakan Sederhana, Dari Pada Kita Harus Mengumbar Apa Yang Kita Miliki” pesan ayah yang selalu terngiang dalam ingatan yang tak kan pernah lekang dimakan waktu. Aku bangga walaupun terlahir dari anak petani, yang lahir jauh dari peradaban kota, di sebuah kampung kecil yang mata pencahariannya mayoritas bukan orang-orang berdasi, bergelut dengan panasnya matahari, bergulat dengan lumpur-lumpur di sawah yang penuh kotoran dan kuman, berangkat pagi-pagi walaupun ditempuh dengan jalan kaki, dengan tanpa lelah yang bergelut dalam dirinya, ayah berangkat dengan penuh perjuangan dan semangat yang besar untuk dapat menyekolahkan aku sampai jenjang saat ini. Rumahku tidaklah mewah ataupun indah, melainkan hanya rumah kumuh yang sangat sederhana, tetapi ibu selalu mengajarkan aku untuk selalu bersyukur apapun keadaanya. Hidupku memang sederhana, tetapi aku memiliki impian dan tekad yang sangat kuat.

Kenikmatan dan kedamaian hidup belum tentu berada pada tempat mewah ataupun harta yang berlimpah ruah, kesederhanaan bukan berarti hidup rendah dan hina. Namun, hidup sederhana itu tidak lain untuk membangun jati diri penikmatnya. Kesederhanaan itu mengantarkan manusia kepada derajat yang lebih mulia dan menjadi sebuah obat bagi jiwa yang selalu meronta dan bergelimang dengan berbagai kemelut hidup yang tak bisa dibendung.

“Jingga, kenapa melamun?,” teguran yang tiba-tiba muncul dari sahabatku, yaitu Bintang.

“Aku lagi mikir bagaimana caranya aku bisa kuliah tanpa biaya Bintang, soalnya kan kamu tahu sendiri keadaan orang tuaku itu bagaimana.” timpal aku.

“Begini Jingga, jangan jadikan keterbatasan yang kamu miliki sebagai alasan untuk tidak menempuh pendidikan berikutnya, kamu kan bisa saja mendaftar beasiswa di salah satu Universitas. Selama ada kemauan untuk itu, pasti ada jalan keluarnya kok. Aku siap membantumu kok.” Ucap Bintang sembari memberikan motivasi.

“Baiklah, aku akan mencobanya!” balas Jingga.

Senja tak selamanya berwarna jingga, senja terkadang bisa berubah menjadi kelabu, senja sore ini adalah senja yang kesekian kalinya, dimana tak ada pelangi yang tampak di matanya. Namun, bagaimanapun rupa senja, warna senja aku pun tetap menikmati dan mengagumi keindahan yang tampak memikat di langit yang biru, dari senja aku belajar menghargai kehidupan yang hanya bisa dirasa sekejep mata.

Aku yakin, peluang untuk berkuliah masih terbuka lebar, dengan begitu aku mencoba mencari beasiswa di internet, alhasil aku menemukannya di sebuah Universitas yang ada di Surabaya, sebuah Universitas yang aku dambakan dari dulu sampai saat ini. Namun, sangat disayangkan hal itu bertolak belakang dengan keinginan orang tuaku.

Tok..tok…terdengar suara ketukan pintu .

“Masuk saja!” ujarku.

“Kamu benar-benar ingin kuliah, nak?,” tanya ayah kepadaku.

“Iya ayah, siapa juga yang tidak ingin sekolah setinggi-tingginya.” jawab aku.

“Tapi sedikit saran dari ayah, nak! kalau bisa kamu kuliahnya di dalam kota saja, ayah khawatir jika kamu harus kuliah keluar kota, karena pergaulannya terlalu bebas.” ucap ayah.

“Baik, yah.” jawab aku walaupun sedikit kecewa.

Mentari bersinar dengan hangat, pagi ini indahnya langit pun terlihat berwarna kelabu, burung-burung terdengar riang bernyanyi, kicauannya menemaniku untuk melanjutkan aktivitas pagi, langit yang menyapa dengan semangat barunya, anginpun berbisik seolah-olah mengatakan “semangat pagi”.

Kelopak mataku terpejam dengan erat, mencoba menerawang warna-warni kehidupan, hikmah yang diperoleh dapat membuka cakrawala ingatanku. Aku mulai menjelajah dalam lautan, membuka lembaran khayalan baru yang dipenuhi tepisan ombak, sementara tepisan angin begitu dingin memporak-porandakan sebuah istana yang aku bangun saat itu sampai sekarang, linangan air mataku terbasuh dengan semerbak rintihan do’a yang ku panjatkan. Mulai detik ini aku harus bisa dan meyakinkan hati, melintasi bumi yang berlika-liku itu, angan yang ku redam saat ini kini harus terdampar dalam ruang imajinasi. Panorama alam yang indah, mulai aku rasakan keindahannya.

“Jingga!,” panggil Bintang, “Aku ada kabar gembira untuk kamu. Kamu lolos KIP Kuliah jalur PTS yang diselenggarakan di salah satu kampus yang merupakan penerima KIP Kuliah terbanyak untuk tahun ini, aku sengaja tidak memberitahumu, karena aku berniat untuk membantu kamu mewujudkan mimpimu.”

“Serius Bintang?,” tanya aku.

“Iya Jingga, aku serius.” jawab Bintang.

“Terimakasih banyak, Bintang.” ucap aku dengan nada gembira.

Kembali aku memandang langit yang telah berubah menjadi jingga, burung yang berkicau seolah-olah sedang bercerita, dan menyaksikan senyum di pelipis bibirku, desis suara daun pepohonan yang tersentuh karena angin, aku menagtur pandangan ke arah matahari yang mulai terbenam, aku terpaku dalam pandangan, menikmati matahari yang akan terbenam dengan latar belakang warna langit berubah warna seirama dengan matahari.

“Ayah , Ibu! Jingga punya kejutan loh.” panggil aku.

“Ada apa, nak?” tanya ayah dan ibu sembari bersamaan.

“Jingga, dapat beasiswa di salah satu kampus yang ada di kota ini!” jawab aku.

“Alhamdulillah, nak.” ucap dari kedua orangtua ku, yang tiada henti-hentinya bersyukur.

Hujan tiba-tiba turun setelah cuaca sore yang sangat mendukung, bahkan tanpa aba-aba mendung, petir pun menyapa. Syahdu memang, seolah-olah hujan sedang menyapa semesta sebagai dirinya sendiri, bahwa dia adalah bulir rintik air yang menenangkan jiwa. Airnya jatuh mengguyur seluruh hamparan tanah di sekitar dinding tinggi, membelai lembut dedaunan, menyejukan badan dengan semilir angin yang menemaninya. Hujan pun semakin deras, sungguh dingin..! semua yang terlihat kesunyian yang semakin membebani ku yang terkulai lemas diatas ranjang sedari tadi terdiam, mendengarkan lantunan alam yang makin beriringan, mengantarkan aku tertidur dengan tenang.

****

Mentari bersinar dengan hangat, pagi ini indahnya langit pun terlihat berwarna kelabu, burung-burung terdengar riang bernyanyi, kicauannya menemaniku untuk melanjukan aktivitas pagi, langit yang menyapa dengan semangat barunya, angin pun berbisik seolah-olah mengatakan semangat pagi.

Hidup itu indah jika kita dapat menerima hidup sebagai kesempatan. Memang, semua berawal dari impian, hiduplah dengan mempunyai impian dan harapan, bukan hidup dalam mimpi saja, karena setiap diri kita pasti mempunyai impian, cita-cita atau bahkan harapan. Harapan yang tersembunyi akan terselebung dalam relung hati dan jiwa, hingga timbulah dorongan untuk melakukan sebuah perubahan. Walaupun kita memiliki keterbatasan, akan ada pelita yang menerangi.

Hari ini merupakan hari pertama aku masuk kuliah di sebuah kampus yang hijau, asri, dan sejuk dipandang mata. Aku ingin menjadi mahasiswi yang berguna. Namun, tiba-tiba cacian itu datang dari salah satu mahasiswa yang menempuh pendidikan di kampus yang sama denganku. Aku menghiraukannya, karena kita hidup bukan berdasarkan omongan orang lain. Seperti biasa, aku meredamnya dalam hati, mengalir deras dalam bak ingatan, tak ada dendam yang akan kutorehkan. Namun, yang aku rasakan cacian itu terus terngiang dan terulang secara otomatis, tak bisa aku membencinya.

Biarlah jika mungkin ada yang mengatakan, aku gila

Akan lebih gila lagi, jika aku tak pernah mencobanya

Akan lebih gila lagi, jika aku menyesal kedepannya

Setidaknya..

Jika aku pernah berjuang, aku tak akan mudah menyesal

Jika aku pernah berjuang, aku tidak akan kalah

Jika aku berjuang, aku tidak akan terbelenggu karena keputusan

Pendidikan adalah salah satu hal yang begitu penting dalam kehidupan. Ada banyak anak-anak yang cerdas dan berprestasi, tetapi terkadang ekonomi kedua orang tuanya tidak dapat memenuhi pendidikan yang lebih tinggi. Tidak hanya faktor finansial saja, faktor sosial pun terkadang ikut andil dalam memupuskan impian. Cibiran yang datang dari orang-orang sekitar terkadang menjadi faktor mengubur mimpi dalam-dalam, menghantam mental dan semangat mereka untuk berpendidikan tinggi. Tetapi, aku bukanlah pribadi yang rapuh seperti halnya kayu yang terbakar karena api. Aku harus bangkit dari keterpurukan, dan tetap bekerja keras dan diimbangi dengan do’a pula.

Angin sejuk berhembus melewati celah jendela kamarku, sang fajar pun sudah siap untuk menutup hari lelah, begitu banyak yang aku alami saat ini. Bagaimana aku bisa melupakan cibiran itu sedangkan masih menggantung dalam bak ingatan. Namun, aku sangat bersyukur pada Tuhan, karena sore telah memikatku dengan segala keindahannya, hingga aku lupa, dan aku dapat beristirahat dalam dekapan erat sang malam yang membuat aku terlelap dalam tidurku.

*Penulis lahir Pada Tanggal 1 Juni 2002 Di Madura Tepat Nya Di Kab. Sumenep. Sekarang memulai pendidikan nya di STKIP PGRI SUMENEP dalam Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here