Oleh: Akhidatul Avida*
Menuangkan sedikit keresahan yang dirasa sudah cukup untuk segera dikeluarkan dari kepala, setelah sekian lama bercokol di bayang-bayang ingatan karena tidak dapat dikeluarkan. Terkungkung dengan isu-isu yang selalu menggiring opini kita untuk berhenti mencari tahu dan penasaran tentang apa yang terjadi, kini sedikit demi sedikit sudah mulai menemukan titik terang sehingga berhasil dituangkan dalam bentuk tulisan ini. Seterang apapun titik yang saya temukan belum tentu terang untuk kalian juga, seperti yang kita ketahui terkadang berbicara kebenaran itu sulit, karena sifat dari kebenaran itu sendiri relatif, tergantung dari sudut pandang yang kita pakai untuk mempercai dan membenarkannya.
Fokus pada keresahan yang akan saya sampaikan yaitu tentang perempuan yang katanya rumit, selalu serba salah tetapi dituntut ini dan itu. Ketika kita dengan bebas memikirkan peran ataupun cara untuk mengekpresikan diri semua itu akan dianggap sebuah pembangkangan. Tetapi, terlepas dari semua hal di atas selama ini saya merasa gagal sebagai perempuan. Mengapa demikian?, ketika melihat tokoh-tokoh feminisme terdahulu seperti R.A Kartini yang terkenal dengan emansipasi perempuannya, Nawal El-Sadawi dengan tulisan tentang budaya patriarkinya. Sedangkan sekarang apa yang harus saya perjuangkan?. Merasa segala sesuatunya sudah cukup dan enggan memikirkan tentang pembebasan perempuan.
Berbicara perempuan dengan sebuah cita-cita pembebasan, feminisme hadir karena kesadaran kita sebagai perempuan untuk menentukan sebuah pilihan agar bebas sehingga bisa menjadi perempuan yang merdeka. Oleh karena itu feminisme sering dianggap sebagai pembangkangan dari aturan yang ada, ditambah seiring dengan penggorengan isu tersebut, hingga semakin renyah dan membuat saya terjebak dengan propaganda yang ada.
Namun semua hal itu terjawab ketika saya membaca buku dari senior saya yang berjudul “Tuhan, Perempuan, dan Pasar,” buku yang ketebalannya tidak sampai 100 halaman itu berhasil membuat saya seperti orang bodoh yang benar-benar bodoh.
Kumpulan esai yang ada di dalamnya sangat epik dalam membuka setiap tabir sistem yang sangat sempurna, sehingga kita perempuan tidak akan sadar menjadi salah satu faktor pendukung kesempurnaan sistem ini. Yah, perempuan berada di tengah-tengan kata “Tuhan dan Pasar”. Kita perempuan selalu saja tidak berdaya ketika dihadapkan lalu dibenturkan dengan hukum tuhan yang membelenggunya dalam budaya patriarki, sedangkan pasar tidak hanya menjadi korban budaya patriarki, perempuan juga sebagai pasar yang setiap jengkal tubuhnya dilihat bernilai ekonomis.
Perempuan dalam sistem ini adalah komodifikasi yang hanya dilihat sebagai produk ekonomi semata, iklan yang ditampilkan sistem ini membuat perempuan semakin terlena sehingga mereka harus serupa dengan tampilan dalam iklan, hal itu tentu saja seiring dengan tergerusnya cita-cita feminis yang sebenarnya.
Esai terakhir yang ditulis oleh Fathimah Fildzah Izzati menampilkan kutipan yang membuat saya sedikit berpikir kembali “Apa yang membuat perempuan bahagia?, Tanyakan pada mereka dan mereka akan menjawab, secara tidak berurutan: seks, makanan, teman, keluarga, belanja, cokelat”.
Inilah dampak dari kesempurnaan sistem itu dengan hebatnya membentuk sebuah perempuan yang bebas dengan emansipasi konsumensarisme, beberapa hal yang saya tangkap tentang kebebasan perempuan kini bukan lagi tentang sebagaimana perempuan yang bebas mengengenyam pendidikan tinggi agar tidak terkungkung dengan budaya patriarki, perempuan yang bebas duduk di jabatan tinggi sesuai dengan kemampuannya, atau memperjuangkan perempuan yang hanya menjadi buruh pabrik dengan gaji di bawah rata-rata, melainkan berbagai macam cara yang harus dilakukan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang dijelaskan dalam kutipan tersebut.
Kebebasan yang dilihat hanya seputar hedonisme saja, pemburuan barang yang di luar kata wajar karena terlena dengan iklan maka saat berbicara tentang hal ini perempuan lagi-lagi digiring untuk tidak sadar bahwa saat menentukan sebuah pilihan pembebasan sudah dipengaruhi oleh sistem ini.
Kita perempuan diperdaya sedemikian rupa untuk tetap berlarut-larut dengan semua hal itu sehingga ketika kita diberi kesempatan untuk membahas sesuatu yang lebih penting tidak akan sadar dan dengan sempurnanya sistem ini memperdaya perempuan hal itu tidak akan bisa kita lakukan karena akan berputar kembali pada hukum yang tidak dapat kita tolak lagi kebenarannya. Bukan mau main tebak-tebakan saya rasa para pembaca sudah tahu sistem seperti apa yang sedang menjerat kita dan hukum apa yang tidak dapat ditolak kebenarannya.
Sesempurna itu perempuan hingga berada ditengah-tengah Tuhan dan Pasar ataukah sebaliknya? Apakah rasa coklat masih sama saat tahu masih banyak perempuan diluar sana yang jauh dari kata merdeka, sedangkan kita masih terus berlarut-larut dengan manisnya coklat yang dikonsumsi berlebihan, tidakkah kita memikirkan efek sampingnya? Mari renungkan bersama.
*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) STKIP PGRI Sumenep, semester II.












