Asyura : Titik Temu Sejarah, Iman, dan Transformasi Spiritual

0
89
Gambar belajar sejarah 10 Muharram. Sumber foto : Jacob from Istock

Oleh : Pimred

Sepuluh Muharram (Asyura) bukan sekadar penanda waktu dalam kalender Hijriah. Ia adalah mihrab tempat sejarah, iman, dan pergulatan manusia dalam poros ketuhanan. Kata Asyura sendiri sebagaimana diuraikan para ulama berasal dari bahasa Arab asyarah (sepuluh), merujuk pada posisinya sebagai hari kesepuluh di bulan Muharram. Namun, di balik kesederhanaan makna ini tersimpan lapisan-lapisan sakralitas yang menjadikan Asyura sebagai sumsum spiritualitas Islam.

Sejarah Asyura bermula dari tradisi pra-Islam. Kaum Yahudi di Madinah berpuasa pada hari ini sebagai syukur atas keselamatan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Ketika Rasulullah ï·º menyaksikan praktik ini, beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian” (HR. Al-Bukhari). Dalam riwayat Aisyah RA, puasa Asyura bahkan telah menjadi kebiasaan suku Quraisy di Mekkah sebelum kenabian dan Rasulullah ï·º turut melaksanakannya. Ini menunjukkan bahwa Asyura adalah momentum sejarah yang menghubungkan risalah para nabi.

Al-Qur’an mengisyaratkan momentum serupa melalui firmannya “Dan ingatlah hari-hari Allah” (QS. Ibrahim: 5). Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukhashfa al-Qulub menegaskan, Asyura termasuk hari istimewa sejak penciptaan langit dan bumi sebagaimana diriwayatkan Umar ibn Al-Khattab RA. Pada hari inilah menurut tafsir ulama sejumlah peristiwa kosmik terjadi. Diantaranya Nabi Adam AS diterima taubatnya setelah 40 tahun menangis di bumi, Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api Raja Namrud, Nabi Yunus AS dikeluarkan dari perut ikan, dan Nabi Musa AS membelah Laut Merah. Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Lathaif al-Ma’arif menyatakan bahwa Muharram adalah bulan Allah yang agung. Di dalamnya, taubat Nabi Adam diterima.

Ikuti Saluran LPM RETORIKA STKIP PGRI SUMENEP di WhatsApp

Jika sebelum hijrah Asyura adalah hari syukur dengan puasa, maka setelah peristiwa Karbala pada 10 Muharram 61 H (680 M) maknanya mengalami diferensiasi teologis antara Sunni dan Syiah. Bagi Sunni, Asyura tetap dirayakan dengan puasa sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti) tradisi Nabi ï·º. Sabda beliau “Puasa Asyura menghapus dosa setahun sebelumnya” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzzab menegaskan bahwa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil.

Sementara bagi Syiah, Asyura adalah hari duka atas syahidnya Husain bin Ali Karramallahu Wajhah di Karbala. Cucu Rasulullah ï·º ini dibantai bersama 72 pengikutnya oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Husain sebagaimana dikisahkan Farhad Afghan, menolak berbaiat pada penguasa zalim demi mempertahankan prinsip Hidup merdeka atau mati syahid. Tragedi ini bukan sekadar konflik politik melainkan pertarungan antara haq dan batil. Syiah memperingatinya dengan majelis duka (majalis al-aza), prosesi berkabung, dan refleksi perlawanan terhadap tirani.

Meski berbeda ekspresi, kedua mazhab sepakat bahwa Asyura adalah hari pembersihan jiwa. Ibnu Taymiyyah mengingatkan agar tidak menjadikannya sebagai hari sukaria atau duka berlebihan, melainkan momentum tazkiyatun nafs (penyucian diri) melalui puasa.

Rasulullah ï·º tidak hanya berpuasa pada 10 Muharram, tetapi juga menambahkan puasa Tasu’a (9 Muharram) sebagai pembeda dari tradisi Yahudi. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Nasa’i, puasa Asyura termasuk empat amalan sunnah yang tak pernah ditinggalkan Nabi ï·º. Lebih dari itu, para ulama merangkai Asyura dengan amal sosial. Di Indonesia, 10 Muharram dikenal sebagai “Lebaran Anak Yatim”. Tradisi ini berakar pada sabda Nabi ï·º “Siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, Allah akan mengangkat derajatnya tiap helai rambut yang disentuh” (HR. Thabrani). Meski sebagian ulama menilai hadis ini dhaif (lemah), pesan moralnya sejalan dengan semangat Surah Ad-Dhuha: 9, “Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang”. Baznas Indonesia mencatat praktik nyata. masyarakat berbondong menyantuni yatim, memberi bingkisan, dan mengadakan jamuan di masjid atau panti asuhan. Imam Al-Ghazali menganjurkan memperluas rezeki keluarga di hari ini sebab ia adalah manifestasi syukur atas karunia Allah.

Di tengah dunia yang dilanda krisis spiritual, Asyura menawarkan paradigma kesadaran. Ia adalah hari di mana sejarah para nabi dari Adam hingga Husain berkumpul dalam satu orbit keteladanan. Puasanya mengajarkan disiplin, santunan yatimnya melatih kepekaan sosial, dan refleksi Karbalanya membangkitkan keberanian melawan kezaliman. Dalam gema takbir Muharram, kita diajak menulis ulang sejarah diri. Menjadi manusia yang tak hanya memperingati, tetapi menghidupkan ruhnya dalam tindakan nyata. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Penulis adalah manusia biasa yang kebetulan menjabat sebagai Pimred LPM Retorika.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here