Berbicara persoalan DEMOKRASI, kita sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan secara demokratis. Artinya, pemerintahan tersebut memberi kebebasan pada masyarakat sipil dalam menentukan arah roda kekuasaan. Dari hal itu, segala kebijakan yang diberikan oleh pemerintah harus berorientasi kepada rakyat, karena kedaulatan yang paling tinggi dalam sebuah sistem demokrasi ada di tangan rakyat.
Mengerucutkan persoalan di atas agar lebih realistis, perguruan tinggi dikenal sebagai miniatur negara, yang di dalamnya terdiri dari komponen birokrasi dimulai dari tataran paling atas sampai tataran paling bawah. Tentu, jabatan fungsional yang diduduki pun harus berdasarkan pada keahlian dan keterampilan yang dimiliki, dan harus berdasar pada Standar Operasional Prosedur (SOP) dari lembaga terkait agar lebih demokratis.
Dalam prinsip penyelenggaraan kekuasaan di ruang akademik, telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 Pasal 6 poin B tentang Pendidikan Tinggi. Pendidikan tinggi harus diselenggarakan dengan prinsip: demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Kampus STKIP PGRI Sumenep salah satu perguruan tinggi yang baru kemarin merumuskan pedoman kemahasiswaan tahun 2022 mendapatkan atensi dari mahasiswa, karena dalam pedoman kemahasiswaan tersebut menuai kontroversi pada bagian Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur mekanisme pelaksanaan audiensi.
Audiensi yang merupakan penyampaian aspirasi atau proses komunikasi antara mahasiswa dengan pimpinan, dalam pelaksanaannya hanya boleh dilakukan oleh HMP/UKM/BEM. Karena barangkali kampus menganggap suara mahasiswa akan terwakilkan oleh Ormawa dan BEM. Atau bisa jadi kampus tidak ingin kekuasaanya terusik oleh suara-suara mahasiswa.
Sehingga beberapa bulan kemarin terdengar bahwa kampus STKIP PGRI Sumenep didemo oleh mahasiswanya karena mekanisme yang megatur pelaksanaan audiensi itu dianggap tidak demokratis dan membungkam kebebasan mahasiswa. Saya sepakat bahwa segala bentuk keotoritarian para birokrasi kampus yang berakibat pada buramnya demokrasi harus dilawan.
Lanjut berbicara tentang pedoman kemahasiswaan tahun 2022, pihak yang bertanggung jawab atas pedoman kemahasiswaan tersebut belum pernah menyosialisasikan kepada mahasiswa, termasuk pada Ormawa. Kemudian pertanyannya, bagaimana kebijakan tersebut dapat dikatakan sah ?.
Lebih aneh lagi, beberapa hari kemarin terdengar bahwa pimpinan sedang melakukan judicial review pedoman kemahasiswaan itu. Padahal, pedoman tersebut sudah berserakan di sekret-sekret Ormawa tanpa ada sosialisasi dari pihak kampus. Dari hal ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang kampus. Apakah sebuah evaluasi ini dilakukan untuk mendengar beberapa teriakan dari mahasiswa yang melakukan aksi? atau ada bisikan dari jin-jin yang ada di kampus? atau mungkin kampus menggunakan sistem yang tak terjamah oleh pikiran manusia dalam merumuskan kebijkan?.
***Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester VI.
(Isi tulisan ini tanggung jawab penuh penulis)