Ku habiskan gerimisku di sini, di Pantai Lombang, ku gantungkan separuh namamu pada senja walau tak nampak. Ah!, duniaku bagaikan kembang tidur yang menyulam mimpi, begitu sulit kutata dengan rapi.
“Gerimis” kataku kala itu, aku berhenti sejenak dari ayunan.
“Kenapa ?” tanyanya seraya melihatku.
“Kita nikmati saja gerimis ini, nantinya kita akan lihat begitu anggunnya kala gerimis bercumbu air laut” lanjutnya.
Kami sama-sama mencintai gerimis, tapi baru saat itu aku menikmati bersamanya. Sulit aku menghapusnya dan lebih sulit pula untuk mengulanginya.
“Aku pamit aku akan melanjutkan studiku di pesantren, pastinya kita akan bertemu, jika kau merasa bosan menungguku, maka tidak mengapa kamu habiskan masa tuamu dengan wanita lain. bukan aku, karena perjalananku begitu panjang, aku takut kau tidak sanggup menunggu perjalananku bertatih-tatih. Tapi, sunggu rasaku tetap berpihak padamu”.
Berat memang mengungkapkan hal yang semestinya tidak diinginkan. Tapi, sampai kapanpun dia tetap gerimisku.
“Lihatlah burung camar yang menempelkan rindu pada dinding senja” ku tatap senja sekilas, lalu ku alihkan pandaganku padanya, dia tatap menatap senja.
“Dia begitu setia mengukir rinduku detik, meski kau sekarang di sampingku, entah! ini rasa gila yang sulit di tebak. pergilah, dan aku harus yakin bahwa kau akan kembali kesini padaku, menikmati gerimis dan senjha di sini”.
Senyumnya yang membuat aku yakin bahwa kau tetap untukku, tapi mengapa aku menikmati gerimis sekarang hanya seorang diri? Tak ada kamu, tak ada sosokmu, yang ada hanya jejak punggung yang setia ku tetap. Ini tidak adil! kembali air mataku jatuh kala mengingat senyum terakhirmu, tapat pada saat itu kita masih bisa menikmati gerimis di taman RSUD, bukan Pantai Lombang.
“Aku masih bisa menepati janji, menantimu kembali dan menikmati gerimis kembali, kaupun juga, kau tetap kembali padaku” suaranya parau.
“Kau haru berjanji untuk selalu ada untukku” kataku senggukan.
“Entahlah, aku hanya takut mengingkarinya, wujudku tidak beritu panjang, mungkin tuhan cemburu pada cinta kita, aku akan selalu ada untukmu hanya saja dunia kita berbeda sayang” matanya nanar, suaranya mulai tidak jelas.
“Rhey, jangan biarkan rindumu kusam di dinding senja” ku gelengkan kepalaku, nyeri mengingat semuanya.
Saat kepulanganku dari pesantren sudah tidak menemui gerimisku lagi, mengapa ia pergi secepat ini ?. Suatu kecelakaan yang merenggut nafas gerimisku, padahal kemarin aku sempat berdialog tentang gerimis, janji dan rindu. lalu aku pergi sejenak untuk mengambil cerita yang telah ku susun dengan diksi-diksi yang indah, selendang sutra yang telah aku sulam dengan benang rasa pada rindu yang kau gantungkan di dinding senja, tapi setelah tibaku di ruangannya tak ada apa-apa, kosong, sunyi, hening, akupun tak mampu berpikir tidak-tidak, dia pasti pulang, sudah sembuh, segera ku susul ke rumahnya aku ingin mengetahuinya langsung bukan dari dokter maupun suster.
Di sana aku dikagetkan dengan banyak orang yang memenuhi kranda rumahnya, aku semakin gugup untuk melangkah, air mataku kembali jatuh, entah yang ke berapa kali. Kotak yang ku bawa basah, melangkah lagi. Aku menjadi pusat perhatian orang. Entah aku dikira apa, akupun tidak tahu. Langkah getar menghampiri sesuatu yang di kerumuni orang, di sana ada sosok yang terlentang, aku mendekatinya hingga salah satu orang mengatakan.
“Bukalah nak” aku melihat pada wanita itu, matanya begitu sembab dengan air mata, dengan pelan aku membuka kain penutup wajah sosok yang yang terlentang itu.
“Rheee….y” tangisku histeris setelah aku mengetahui itu benar-benar Rhey gerimisku. Tiba-tiba ada orang yang mendekapku, aku tak tau itu siapa.
“Mbak yang sabar ya, ini titipan dari mas Rhey sebelum ia pergi” ku raih amplop berwarna biru itu lalu ku buka dengan pelan, dengan diam.
Puisiku,18 April 2018
Sajak yang sempat aku taburkan di kaki senja adalah namamu, tidak perlu risau ada gema tangis di sekelilingku itu hanya prolog saja untuk duniaku yang baru, aku akan selalu melihatmu dari sini, dari dunia/berdinding kaca.
Lupakan sayang, kenangan yang kita sulam, itu hanya menguras fikiranmu saja, berjanjilah untuk tidak menangisiku, malu pada senja yang tabah pada kenyataan.
Mulailah ceritamu dengan diksi yang baru, kelak datanglah pada nisanku untuk menceritakan semuanya, tentang sajak barumu, tentang senjamu, tentang gerimismu, tapi bukan lagi rinduku denganmu sampai kapanpun kau tetap puisiku.
Sajakmu, Rey
***
Sudah 4 tahun, tapi aku tetap tak bisa melupakannya, mengingat kaca mencuri ombak di bibir pantai, meniupkan rindu pada senja, mengukir kasih di tengah tawa, intinya semuanya ada. Aku tidak dapat berjanji untuk tidak melupakan, karena sampai kapanpun kau tetap sajakku.