Salam mahasiswa. Selamat datang mahasiswa baru. Hari ini langkah barumu dimulai. Tepat di ruang pendidikan tinggi ini, ilmu pengetahuan yang kalian miliki harus mulai diimplementasikan.
Dalam lingkungan ini, akademisi tidak hanya dikena sebagai insan pejuang nilai. Bahkan, bukan juga sebagai pemuda yang pandai berdebat di semua ruang. Sekalipun, pemahaman serupa masih sering ditemukan dalam berbagai perkumpulan.
Mulai dari tongkrongan di warung kopi, sekretariat organisasi, hingga ruang kelas. Namun pada dasarnya, bukan perdebatan yang menjadi tujuan utama dari pendidikan. Bukan pula nilai rapor yang bagus. Tapi, tujuan utamanya adalah aktualisasi secara nyata dari gagasan yang selalu diperdebatkan.
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi cerita. Tepatnya mengenai pengalaman saya waktu menjadi mahasiswa baru. Sejatinya, memang tidak ada yang bernilai begitu berharga dari pengalaman ini. Tapi setidaknya, bisa menjadi pengisi waktu luang para pembaca sekalian.
Entah pengalaman ini juga dirasakan para pembaca atau tidak. Khususnya bagi mahasiswa baru. Namun yang jelas, ini adalah cerita yang terus menjadi bahan refleksi untuk saya selam ini. Supaya tidak gegabah dalam menentukan keputusan.
Awal menjadi mahasiswa, saya tidak paham sama sekali tanggung jawab atau tugas yang harus dijalani. Bagaikan kertas kosong yang dipaksa untuk siap menerima berbagai pola goresan tinta. Seperti apa pun alurnya, tetap harsus dilalui. Walaupun terkadang, keputusan yang dipilih terasa kurang tepat.
Sebagaimana yang saya rasakan, mahasiswa baru biasanya akan dihadapkan pada berbagai dimensi pandangan hidup. Terkhusus dalam hal dunia pendidikan. Tapi, dari semua perbedaan pandangan itu, saya pahami terdapat satu kesimpulan. Masa perkuliahan adalah waktu yang wajib dimanfaatkan dengan maksimal. Tidak boleh hanya sekadar main-main.
Berawal dari pernyataan tersebut, ada banyak persepsi yang dimaknakan sesuai pemikiran masing-masing orang. Ada yang mengatakan, bahwa masa kuliah harus dimaksimalkan untuk meraih prestasi pendidikan yang sempurna.
Sedangkan di lain sisi, ada pula yang mengatakan bahwa kuliah merupakan masa untuk memperluas relasi serta pengalaman. Paling banyak, ada yang mengatakan bahwa masa kuliah ada waktu untuk menempa diri sebagai orang berpengaruh. Maka untuk itu, jalan yang harus ditempuh adalah menjadi aktivis (katanya).
Bagi saya, jika diminta untuk memilih, tentu saya akan memilih untuk menjadi bagian dari semuanya. Namun di samping itu, patut untuk disadari bahwa saya hanya manusia yang penuh dengan keterbatasan. Sehingga, tidak mungkin bisa menempuh semua cita-cita besar itu.
Lalu, kira-kira keputusan mana yang harus diambil? Sebelum membahas terkait itu, ada kata kunci yang ingin saya sampaikan. Menjadi mahasiswa yang banyak tahu tentang satu hal. Atau, sedikit tahu tentang banyak hal.
Lambat atau cepat, mahasiswa baru pasti mendapat doktrinasi bahwa 25 persen pengetahuan di kampus terdapat di ruang kelas. Kemudian 75 persen sisanya berada di organisasi. Hal demikian memang sengaja di bangun sebagai strategi rekrutmen organisasi.
Tapi yang jelas, hemat saya, ilmu pengetahuan tidak pernah terbatas oleh ruang dan waktu. Bahkan alam pun bisa menjadi guru. Begitu pula dengan tempat, semua bisa dijadikan kelas. Tidak terkecuali, ruang kelas formal, organisasi, atau juga lingkungan sosial secara umum.
Atas dasar itu, maka semua hal wajib hukumnya untuk dilakukan. Selagi, hal tersebut mampu mejadikan kita lebih baik. Pada dasarnya, mahasiswa tidak akan bisa berproses di organisasi kemahasiswaan tanpa melalui proses kuliah.
Begitu juga saat menjadi akademisi. Akan sangat sempit relasi serta pengalamannya tanpa berproses di organisasi. Sebab, melalui ruang tersebut maka mental dan pengalaman setiap pribadi akan diasah menjadi lebih maksimal.
Jadi, dari berbagai persepsi pemahman tentang dunia pendidikan mahasiswa, pada intinya semua hal itu penting untuk dilakukan. Sebab tujuan utama dari pendidikan adalah kemanusiaan. Maka dari itu, orang yang berpendidikan memiliki kewajiban untuk menebar manfaat bagi yang lain. Terutama untuk orang lain di sektarnya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat salah seorang filsuf Aristoteles. Dia mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah humanisme. Karena sejatinya, manusia adalah mahluk sosial yang semua dinamika kehidupannya saling membutuhkan.
Terpenting untuk disadari, pengaruh yang baik hanya dapat bersumber dari ilmu pengetahuan yang baik pula. Tapi, cita-cita untuk membangun pengaruh baik itu akan sangat sulit tercapai tanpa ditopang oleh relasi yang kuat.
Maka dari itu, bagi saya, proses pendidikan di ruang kelas formal dan ruang diskusi pendidikan sama pentingnya. Bahkan satu di antara keduanya adalah bagian yang saling melengkapi. Tidak bisa dipisahkan untuk dapat mencapai cita-cita pendidikan yang ideal.
Selamat berdiskusi. Teruslah berpikir untuk tetap waras. (*)
*Penulis adalah mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Saat ini, sedang berproses sebagai pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Retorika .