Saya pertegas di awal, bahwa tulisan ini didasari atas beberapa hal yang mungkin menimpa orang-orang yang suka/ingin/pernah menulis. Namun, mereka tidak tahu harus memulainya dari mana, termasuk saya.
Perlu kita renungkan bersama. Tanpa menulis, manusia hanya tinggal nama “Tidak berarti apapun”. Tidak akan ada sejarah dalam kehidupan manusia, jika menulis sudah diabaikan. maka saya nyatakan benar perkataan Pramodya Ananta Toer bahwa “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Jika ditinjau dari pernyataan George Orwell, ada empat alasan menulis. Pertama, egoisme—bahwa setiap penulis memiliki keinginan terlihat cerdas, dikenang setelah mati, dan lain-lain.
Kedua, antusiasme estetik—bahwa setiap menulis, penulis sedang berniat menciptakan hasil yang fantastik.
Ketiga, dorongan historis—keinginan untuk memandang berbagai hal dengan netral yang akan diturunkan pada generasi selanjutnya.
Kempat, politik— saat pendapat penulis menyatakan tulisannya tidak ada hubungannya dengan politik, sebenarnya adalah wajah dari politik itu sendiri.
Setiap orang yang menulis pasti didasari oleh keinginan masing-masing. Namun, perjalanan menulis tak selalu mulus. Mempertahankan budaya tersebut begitu banyak rintangan yang menggeluti kepala diri si penulis. Semuanya tidak berjalan mudah.
Menulis “apapun” merupakan proses dialektika panjang dengan mengekspor dinamika sekitar menjadi teks. Sederhana menulis itu sangat sederhana. Namun tak banyak orang-orang selalu membalikkan badan ketika harus berhadapan dengan konsistensi.
Tidak berhenti disitu, Penulis agar dikategorikan hebat, selalu menekan otaknya untuk menciptakan sebuah karya baru “tema menarik, gagasan superior, tidak meniru sudut pandang penulis lain”.
Pada dasarnya, tuntutan tersebut seringkali menjadi depresi yang menimpa penulis: MISKIN IDE. kemudian, terjadilah penulis tidak menulis.
Saat penulis membiarkan kekeringan dalam pikirannya berlama-lama, hingga pada akhirnya penulis benar-benar jarang bersentuhan dengan penanya.
Bagaimana hal tersebut terjadi? Seluruh pekerjaan manusia bersifat kausal: Ketika manusia menyebabkan/menghasilkan sesuatu, maka ada tindakan yang mempengaruhi sebelumnya. Hemat saya, ketika manusia kenyang, tidak bisa terjadi begitu saja. Ada proses yang telah dijalani, dan hal tersebut akan berbicara bagaimana manusia memanfaatkan waktu untuk mencapainya. Begitupun menulis, ide atau gagasan tidak akan muncul jika manusia tidak membaca, bahkan sudut pandang mengenai tema akan sama saja.
Menulis tanpa membaca merupakan kemustahilan. Sebab, membaca menyokong kerja imajinasi manusia, dan secara tak sadar menjadi ide dasar dari tindakan. Kita tahu beberapa penulis hebat dengan karya dan gagasannya, tentu, penulis hebat adalah pembaca yang hebat. Di sini saya akan menyeret penulis Argentina, Jorge Luis Borges.
Borges tidak hanya dikenal sebagai penulis cerpen dan esai, tokoh sastra terbesar abad 20 ini juga seorang penyair, kritikus, dan penerjemah yang mempengaruhi gerakan realis-magis dalam sastra Amerika Latin.
Hal yang membuat saya tertarik terhadap Borges adalah dia menganggap dirinya seorang pembaca dari pada seorang penulis, sebab apa yang dia baca jauh lebih penting dari apa yang dia tulis, seperti dalam ceramahnya di Harvard University yang bertajuk “Kredo Seorang Penyair”. Borges seakan menjatuhkan tamparan keras bagi saya, betapa bodohnya saya membuang waktu untuk tidak membaca.
Bagi Borges, membaca menjadi kerja yang paling intelektual dibandingkan menulis. Bahkan, ketika harus mengalami kebutaan, dia rela membayar pembaca yaitu Alberto Manguel seorang Antologis Argentina dan penulis yang masih hidup hingga sekarang. Dalam artian, bukan Borges menyampingkan menulis, tapi banyak membaca sangatlah penting. Terbukti, modal tersebut membuat Borges mampu merumuskan gagasan-gagasan penting dalam karyanya.
Dari Borges, kita bisa mengobati miskin ide dengan membaca. Membaca harus pula diseimbangkan, antara membaca buku dan sosial “dinamika zaman”. Selain memahami pemikiran atau karya lampau, dengan buku, kita memperkaya kosa kata . Lalu, gagasan-gagasan baru akan muncul dari pengamatan indera terhadap pergulatan zaman. Mungkin pas ketika saya sandingkan ungkapan Goenawan Muhammad, bahwa “Kebenaran selalu baru”.
Sumenep-November 2022
*Penulis adalah mahasiswa kesayangan dosen Prodi PBSI semester V, suka tidur, jarang baca, apalagi nulis.