Terlantar di Lorong Semesta

0
400

Karya: Farikul Hasan

 

Riuh di penghujung jalan asa

Entah apa yang terjadi hingga tombak-tombak itu terbengkalai ‘tak berguna

Panas yang menyelimuti ruang hampa

Hendak mengubur tombak sang pereka

 

Lihat … lihatlah di sana!

Berapa banyak pohon gagah yang tiada guna

Siapa yang telah berani mengabaikan mereka?

Kini tanya itu makin meraja

 

Bak semai yang terus diabaikan

Ah … sungguh menjengkelkan

Di mana letak keadilan bagi para pembangun tahta?

Bukankah mereka generasi penerus bangsa?

Lantas mengapa masih terlantar di lorong semesta?

 

Titik cerah enggan ditemukan

Gelebah yang tersirat dalam benak para pembangun tahta

Wanita paruh baya itu datang merangkul mereka

Namun semua itu tiada guna

 

Harap yang tinggi telah melapuk bersama elegi yang terus menggema

Rangkulan kini ‘tak lagi dibutuhkan bagi mereka yang berjuang mati-matian menciptakan kesejahteraan

Keadilan yang selama ini mereka nantikan

Namun tetap saja mimpi itu terabaikan hingga sekarang

Sumenep, 14 Agustus 2023.

 

Dipaksa Musnah

Aba-aba merangkak ke danau kerdil

Gagak menjelma nan terus memanggil

Sayap-sayap sayu kini terjungkal lemas di pelukan yang nihil

Bara pun menyusut, terhempas, semakin menggigil

 

Takdir-hadir-berakhir

Kaki melangkah tertatih, melihat dukkha kembali disisir

Puing-puing dipaksa musnah

Atap pun mengakar ke jurang masalah

 

Tiada lagi cakar yang kekar

Semua terpecah dalam balutan ingkar

Tongkat merayap, merasuk ke dalam layar

Mamun, ikatan terpental, terlepas dari rajutan sangkar

 

Suara jeritan terdengar di mana-mana

Perpecahan kini telah melanda sang roda

Disaksikan berjuta pasang mata

Hingga timbul segunung tanya

 

Siapakah yang memulai?

Siapakah yang berusaha melerai?

Siapakah yang berada di balik pagar?

Pertanyaan-pertanyaan itu terbengkalai hingga pudar

 

Angin ‘tak lagi berdiri gagah

Ketika melihat lautan darah

Lagi-lagi semua dipaksa musnah

Tertindas di tangan yang diselimuti akan gairah

Sumenep, 26 Januari 2023

 

Tahta Pendusta

Awan menghitam menyelimuti wadah yang rentan

Rambu-rambu sirna dihempas sang pemusnah kesetaraan

Sungguh licik taktik yang dimainkan

Mengundang petir untuk mengemis segunung keadilan

 

Kata demi kata mulai dilantunkan

Bersama gamelan rintik yang dijadikan bahan permainan

Suara menggema mencari sebuah ketenaran

Namun, semua itu hanyalah siasat untuk mendapatkan sebuah keuntungan

 

Tahta pendusta kembali menganga

Mencoba menjaring aba-aba fatamorgana

Pelbagai persoalan disulam dijadikan permata kenikmatan

Seakan tiada lagi batu yang gagal ditaklukkan

 

Sungguh miris negeri kita tercinta

Awal yang tentram berakhir nestapa

Dasi-dasi beterbangan menjilat ruh sang penegak keadilan

Hingga semua musnah berakhir duka

 

Sumenep, 23 Januari 2024

 

Bio Narasi Penulis:

Farikul Hasan, pria yang kerap disapa Arik ini lahir di Sumenep, 11 Januari 2004. Saat ini ia sedang melanjutkan pendidikannya di kampus STKIP PGRI Sumenep dan aktif di UKM Sanggar Lentera. Menulis dan bernyanyi sudah menjadi hobinya sedari MTs. Memiliki motto hidup “teruslah mengejar prestasi tanpa harus melibatkan gengsi”.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here