Karya: Farikul Hasan
Riuh di penghujung jalan asa
Entah apa yang terjadi hingga tombak-tombak itu terbengkalai ‘tak berguna
Panas yang menyelimuti ruang hampa
Hendak mengubur tombak sang pereka
Lihat … lihatlah di sana!
Berapa banyak pohon gagah yang tiada guna
Siapa yang telah berani mengabaikan mereka?
Kini tanya itu makin meraja
Bak semai yang terus diabaikan
Ah … sungguh menjengkelkan
Di mana letak keadilan bagi para pembangun tahta?
Bukankah mereka generasi penerus bangsa?
Lantas mengapa masih terlantar di lorong semesta?
Titik cerah enggan ditemukan
Gelebah yang tersirat dalam benak para pembangun tahta
Wanita paruh baya itu datang merangkul mereka
Namun semua itu tiada guna
Harap yang tinggi telah melapuk bersama elegi yang terus menggema
Rangkulan kini ‘tak lagi dibutuhkan bagi mereka yang berjuang mati-matian menciptakan kesejahteraan
Keadilan yang selama ini mereka nantikan
Namun tetap saja mimpi itu terabaikan hingga sekarang
Sumenep, 14 Agustus 2023.
Dipaksa Musnah
Aba-aba merangkak ke danau kerdil
Gagak menjelma nan terus memanggil
Sayap-sayap sayu kini terjungkal lemas di pelukan yang nihil
Bara pun menyusut, terhempas, semakin menggigil
Takdir-hadir-berakhir
Kaki melangkah tertatih, melihat dukkha kembali disisir
Puing-puing dipaksa musnah
Atap pun mengakar ke jurang masalah
Tiada lagi cakar yang kekar
Semua terpecah dalam balutan ingkar
Tongkat merayap, merasuk ke dalam layar
Mamun, ikatan terpental, terlepas dari rajutan sangkar
Suara jeritan terdengar di mana-mana
Perpecahan kini telah melanda sang roda
Disaksikan berjuta pasang mata
Hingga timbul segunung tanya
Siapakah yang memulai?
Siapakah yang berusaha melerai?
Siapakah yang berada di balik pagar?
Pertanyaan-pertanyaan itu terbengkalai hingga pudar
Angin ‘tak lagi berdiri gagah
Ketika melihat lautan darah
Lagi-lagi semua dipaksa musnah
Tertindas di tangan yang diselimuti akan gairah
Sumenep, 26 Januari 2023
Tahta Pendusta
Awan menghitam menyelimuti wadah yang rentan
Rambu-rambu sirna dihempas sang pemusnah kesetaraan
Sungguh licik taktik yang dimainkan
Mengundang petir untuk mengemis segunung keadilan
Kata demi kata mulai dilantunkan
Bersama gamelan rintik yang dijadikan bahan permainan
Suara menggema mencari sebuah ketenaran
Namun, semua itu hanyalah siasat untuk mendapatkan sebuah keuntungan
Tahta pendusta kembali menganga
Mencoba menjaring aba-aba fatamorgana
Pelbagai persoalan disulam dijadikan permata kenikmatan
Seakan tiada lagi batu yang gagal ditaklukkan
Sungguh miris negeri kita tercinta
Awal yang tentram berakhir nestapa
Dasi-dasi beterbangan menjilat ruh sang penegak keadilan
Hingga semua musnah berakhir duka
Sumenep, 23 Januari 2024
Bio Narasi Penulis:
Farikul Hasan, pria yang kerap disapa Arik ini lahir di Sumenep, 11 Januari 2004. Saat ini ia sedang melanjutkan pendidikannya di kampus STKIP PGRI Sumenep dan aktif di UKM Sanggar Lentera. Menulis dan bernyanyi sudah menjadi hobinya sedari MTs. Memiliki motto hidup “teruslah mengejar prestasi tanpa harus melibatkan gengsi”.