Oleh: Ach. Zainuddin
Awalnya saya tertarik kuliah di kampus STKIP PGRI Sumenep. Karena, pada saat saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), kampus yang berjuluk Tanéyan Lanjhâng ini terkesan menjanjikan beasiswa.
Pada tahun 2021, saya mendaftar di salah satu kampus perguruan tinggi yang notabenenya pendidikan. Saya di ajak kuliah dengan iming-iming mendapatkan beasiswa KIP-kuliah, akhirnya saya tertarik untuk menerima tawaran tersebut.
Izinkan saya mengenalkan diri, saya adalah korban dari janji manis kampus. Padahal, saya menaruh harapan besar yang hidup penuh kekurangan. Saya bukan mahasiswa penerima beasiswa. Alih-alih mempunyai keringanan, saya justru di suruh bayar uang pendaftaran microteaching yang sangat memberatkan.
Pihak kampus tak ada bedanya dengan huruf “ba-bi bu-ta” kebijakan yang lebih kotor dari pada babi. Lantaran menyebabkan mahasiswa yang tidak mampu sangat menjerit, dan sekarang, orang tua saya sangat sulit percaya terhadap kampus. karena, hanya manis di awal dan pahit di akhir.
Akhirnya, saya terpaksa mengatakan bahwa kampus ini sangat kejam terhadap mahasiswa. Karena, telah memaksakan sesuatu yang mahasiswa tidak mampu, sehingga pendidikan yang merdeka tidak terwujudkan di kampus ini.
Bahkan, bukan cuma saya yang merasakannya, masih banyak teman saya yang menderita, dan orang tuanya bercucuran air mata. Sebab, ketidakmampuan membayar uang pembiayaan yang memberatkan.
Saya juga mahasiswa yang dituntut untuk berpikir kritis terhadap kebijakan kampus. Namun, ketika saya kritis, kampus malah mengintimidasi dan menindas saya, beberapa hari yang lalu.
Saya sebenarnya sudah mencoba untuk berdialektik dengan salah satu petinggi kampus. Saat ditemui, saya seakan-akan dianggap domba yang tidak mempunyai kredibilitas.
Kalau boleh saya bercerita, awal saya diintimidasi oleh pimpinan kampus. Sebenarnya, saya masih beritikad baik meminta klarifikasi terkait kebijakan pembiayaan microteaching. Namun, bukan mendapatkan jawaban, malah saya dibentak habis-habisan.
Jujur, pada waktu itu, keberanian saya sebagai mahasiswa benar-benar diuji. Karena narasi yang disampaikan begitu sarkas. Bahkan, bahasa yang di gunakan mengancam terhadap saya, “awas kalau sampai memberitakan yang tidak², saya laporkan kamu,” ucapnya dengan nada emosi.
Bagi saya, kampus merdeka yang digaungkan oleh menteri pendidikan memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat. Namun pada kenyataannya, kampus yang saya pilih sebagai tempat memerdekakan diri ini, malah memperbudak mahasiswanya supaya tidak melakukan narasi perlawanan terhadap suatu kebijakan.
Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan kampus, saya hanya bersikap profesional saja, kalau bagus akan dikatakan bagus, dan sebaliknya, kalau jelek akan saya katakan dengan lantang, bahwa itu jelek.
*Penulis bernama Ach. Zainuddin. Dia sekarang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal LPM Retorika periode 2023-2024.