Oleh: Farikul Hasan
Bersetubuh dengan Khayal
Kecup kering melanda pasir anatomi
Tengkorak berdansa di bukit kecut akademi
Siapa sangka raga yang dulunya utuh sekarang hanyalah riasan belati
Semata merayap tertindih di balik rengkah ‘tak berarti
Kosong, tatap yang dulunya bugar kini menunduk tertatih
Merangkak terjungkal di lorong curam rintih
Bersetubuh dengan khayal terus saja mengebiri
Sedangkan cucuran hitam makin menjadi misteri
Hei tanduk bercula kaki
Ingatkah kau dengan jeritan di bawah baki?
Atau raungan perkasa di tengah maki?
Aku rasa kau sudah melupakannya, karena lintasan tuang yang menghimpit ruang berdasi
Lihatlah sejenak retak yang makin mengakar di lubang gerigi
Supaya kau tahu akan ratapan-ratapan malang di malam analogi
Sehingga merah bisa mengekar dalam pengetahuan yang makin tinggi
Dan putih pun melambung hingga dering pesing ‘tak terulang lagi
Sumenep, 24 Maret 2025
Menyusuri Peti Mati
Aksara jingga mulai menyapa melalui hentakan kerumunan
Membuat sajak purna terperangkap dalam ketidakpastian
Raungan kobaran ‘tak lagi dinyalakan
Merasuk lubang kerikil, memenggal lautan kejayaan
Batu-batu hitam mulai melompat ke lembah kebiadaban
Bak menyusuri peti mati yang selama ini dipertahankan
Lagi-lagi awan-awan kusut yang menjadi penghalangnya
Merangkai kembang bangkai di setiap hentakannya
Suara gamelan mulai terdengar di balik kericuhan
Mengetuk imbuhan, mencegah kemungkaran
Kini semua telinga mendengarkan syiar syair perenungan
Menyulam bola mata ditarik dalam percikan kebenaran
Suara takbir menggema di sudut pohon-pohon belukar
Dengan iringan shalawat ia mampu berdiri dan kian melingkar
Yang perlahan merangkak di celah-celah sayu bakar
Sehingga aroma-aroma kecut ‘tak lagi berani mengakar
Sumenep, 28 Januari 2025.
Kelam Kembali Menerjang
Di bilik sudut-sudut jalan merebak aroma danur siwalan
Merambat menusuk udara yang kian berantakan
Kelam kembali menerjang lini kenestapaan
Membuat kelopak rona makin menyengsarakan
Celah belah ruang melodi berubah menjadi duri
Hutan-hutan mengambang di tengah gurun semak belukar
Kini aku terpaku dalam sayatan beku yang katanya “itu tidak seberapa”
Namun goresan itu berhasil membuatku berdayung pilu
Tafsir berakhir di pucuk takdir
Melantunkan sajak patah hati di tengah iringan pesisir mati
Ya Tuhan sampai kapan aku harus mengebiri di depan sulam gerigi?
Aku lelah dengan elegi yang tertancap dalam sanubari
Akankah jari-jemari akan kembali menari?
Atau kerikil-kerikil tajam kembali menghiasi?
Entahlah, aku rasa pilu yang menjadi topik utamanya
Karena sang kejora telah lama menghilang dalam aksara dunia
Sumenep, 31 Desember 2024.
Bisikan Malam
Akar menjerat merengkuh kepahitan
Membuat ranting gugur ke danau kebiadaban
Arah bertanya ke mana hilangnya lonceng keindahan
Hingga atap meratap akan hitam yang dilukiskan
Tuhan … Suram sudah duniaku
Terlilit duri dalam perjalananku
Bunga danur yang terus menghantui perasaanku
Namun harapan itu ‘tak kan pudar dalam bintang gemintang ku
357 hari aku tersesat dalam lamunan kubah
Terseret benalu tajam ke jalan tanpa resah
Kini aku berlari, berdiri menepis dinding berdarah
Untuk menemukan labirin dunia yang terpampang cerah
Aku terus menggali, mencari dan membenahi ayat-ayat diri
Supaya sayap-sayap pena melambung makin tinggi
Tangan merangkak menelusuri teka-teki sang Ilahi Rabbi
Membangun pondasi dalam harapan negeri abadi
Bisikan malam yang ku jadikan sebagai penelusuran
Untuk menggapai semua harapan yang telah lama ku impikan
Payung teduh ‘tak lagi mewadahi tangan menekan
Karena berlian mata kini berhasil ku telan
Sumenep, 14 Desember 2024.
*Farikul Hasan, pria yang kerap disapa Arik ini lahir di Sumenep, 11 Januari 2004. Saat ini ia sedang melanjutkan pendidikannya di kampus STKIP PGRI Sumenep. Menulis dan bernyanyi sudah menjadi hobinya sedari MTs. Memiliki motto hidup “teruslah mengejar prestasi tanpa harus melibatkan gengsi”.