Oleh: Hasan Liema A.*
Bersamaan dengan sinar mentari menerobos jendela dan gorden yang melambai-lambai, Suto membuka matanya dengan paksa. Meskipun sudah tidur cukup lama namun mata Suto tetap terasa sangat berat untuk dibuka. Ia kemudian menarik nafas dalam-dalam untuk mengembalikan kesadarannya dengan penuh.
Ia menguap.
Ia terkejut.
Entah sejak kapan pisau yang berlumuran darah itu berada di tanganya. Ia bingung sangat bingun malah, sebab ia tidak pernah ingat mengambil pisau. Yang lebih mengejutkan lagi darah itu adalah darah kekasihnya yang terbujur kaku di sisi Suto.
Ia meloncat dari ranjang saking terkejutnya. Betapa tidak, bila mendapati kekasih tersayang tiba-tiba saja terbujur kaku, bersimbah darah, dengan mata terbelalak pun di pipinya ada linangan air mata yang mulai kering. Akupun akan bertindak seperti yang dilakukan Suto bila peristiwa seperti itu terjadi kepadaku. Kampun juga begitu kan.
Suto melempar pisau ditangannya kesemberang arah. Dengan jeritan histeris Suto menghampiri tubuh terbujur kaku yang tak lain adalah istrinya. Kebingungan menjalar keotaknya, sendang rasa sakit merongrong dadanya. Simbah dan bau anyir darah dari seonggok danging didepannya sama sekali tak ia hiraukan. Ia memeluk erat kekasihnya dengan air mata.
“Kenapa engkau tinggalkan aku secepat ini sayang.” Suto berteriak menyumpah nyerapahi apapun.
“Siapa yang tega membunuhmu dengan kejam seperti ini. Padahal baru kemaren saja kita bergelak tawa. Tidak, tidak, ini tidak mungkin.”
Suto bingung. Ribuan kemungkinan datang menerobos otak Suto. Memberikan ribuan pertanyaan yang terus mengiang di sela rongga otaknya. Dan yang paling sering muncul adalah pertanyaan perihal kenapa pisau itu berada ditangannya. Tapi Siapa gerangan yang tega membunuh seseoarang yang dicintai, hal itu menjadi kemungkinan yang sangat tidak logis.
Pertanyaan lain pun beralih menyusupi otaknya. Siapa yang membunuh kekasihnya itu. padahal ia sedang tidur berdua. Kenapa tidak ia saja yang dibunuh.
“Aaahhh. Jangan tinggalkan aku sayang.” Ia berteriak lagi sambil memukul ranjang.
“Mana mungkin aku hidup tampamu sayang. Ya aku tidak bisa hidup tanpamu.” Ia menyeka air matanya dengan tangannya tanpa peduli darah yang memenuhi tangannya, sehingga yang terjadi adalah wajah Suto penuh dengan darah. Kamupun pasti bingung dengan yang terjadi pada Suto, sebab di bibirnya teraut seulas senyum. Sangat tipis senyum itu, sehingga tak mungkin tertangkap mata.
“Aku merasa tidak pantas hidup lagi sayang. Bukankah itu komitmen kita dulu. Ya kita berjanji untuk hidup bersama untuk selama-lamanya. Jadi, apa gunanya aku hidup jika engkau mati.” Ia berucap sambil mencari-cari pisau yang tadi ia lempar sembarang.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ia tamukan pisau itu. sambil membolak-balikkan pisau itu ia berucap “Bukankah pisau ini yang telah merenggut nyawamu sayang?”. Ia kembali lagi menaiki ranjang kemudian duduk bersimpuh menghadap tubuh kekasihnya. “Pisau inilah yang harus mempertemukan kita sayang. Ia harus membawaku kepadamu dikehidupan selanjutnya.” senyum tipis itu kini semakin kentara dibibirnya. Seperti ada harapan yang terselip didalamnya.
Setelah mengecup kening kekasihnya Suto mengangkat tinggi pisau yang sudah telumuri darah. Ia memegang dengan kedua tangannya. Sangat erat. Kemudian dengan sekuat tenaga ia menghujamkan pisau itu ke perutnya.
Pada saat pisau itu sudah menyentuh kulitnya, ada sesuatu yang melintas dalam benaknya. Sesuatu berupa ingatan singkat yang menjadi benang merah dari semua kejadian aneh yang terjadi pada Suto pagi ini. Namun terlambat, pisau itu sudak merobek perut Suto.
***
Di kegelapan malam ada seorang laki-laki jangkung berjalan sempoyongan. Sesekali tubuh itu terjatuh, tersungkur mencium tanah. Bajunya semakin lusuh ketika sudah beberapakali terjatuh. Laki-laki itu terus berjalan meskipun dengan tertatih-tatih.
Di tubuhnya tidak ada sedikitpun luka, itu menandakan bahwa dia sempoyongan karena sedang mabuk bukan karena habis berkelahi. Setelah sekian lama melangkah akhirnya ia sampai di depan rumahnya. setelah memasuki teras, terangnya lampu menunjukkan siapa ia. Ia adalah Suto.
“Surti, buka pintunya.” ucap Suto sambil mengedor-gedor pintu rumahnya. Tubuh lemasnya bertopang penuh pada pintu.
“Surti, cepat buka pintunya.” pangil Suto dengan suara semakin keras. Namun masih belum ada tanda-tanda pintu akan di buka. Mungkin Surti sedang tidur pulas hingga tidak mendengar panggilan Suto.
“Surti…. cepat buka pintunya atau aku dobrak. Aku capek banget pengen istirahat.” Teriak Suto dengan sisa tenaganya.
Setelah beberapa saat akhirnya pintu itu terbuka. Sesok perempuan dengan sigap menangkap tubuh linglung Suto yang hampir terjatuh karena pintu yang ia sandari terbuka.
“Kenapa mas bisa mabuk begini.” kata Surti pada Suto yang tersandar pada pelukannya karena kaki Suto sudah tidak kuat menahan—membawa bobot tubuhnya sendiri. Selang beberapa detik Surti membawa Suto ke ruang tamu.
“Sudah, jangan banyak bicara. Aku lagi capek pengen istirahat.” kata Suto dengan suara agak sedikit meninggi.
“Bukannya Mas sendiri yang bilang mabuk-mabukan itu tidak baik. Alkohol itu mebuat kita lupa banyak hal, alkohol hanya akan mengotori otak kita dan….” tapi sebelum Surti menyelesaikan perkataannya tiba-tiba saja ada tangan yang mendarat keras di pipinya. Seketika rasa sakit menjalar ke daging di bawah kulit pipinya yang memerah. Ia terkejut bukan kepalang, sebab yang menamparnya tiada lain adalah seseorang yang sangat ia cintai, seseorang yang selama ini ia perjuangkan. Apalagi tamparan ini adalah tamparan pertama kali yang ia dapat semenjak pertama kali kenal dengan Suto.
“Sudah kubilang jangan banyak bicara aku lagi capek, masih ngotot.”
Tampa terasa di sudut mata indah itu menggenang bulir-bulir kesedihan yang kemudian pecah menuruni pipinya yang sedari tadi memerah karena terkena tampar. Tak pernah ia bayangkan Suto punya tabiat seperti itu. sebab semenjak lima tahun lalu sampai tadi pagi, tak pernah sekalipun Suto berlagak kasar. Bahkan suto bisa dikata terlampau sabar. Sehingga banyak hal yang bila terjadi pada orang lain dalam sekejap mata amarah mereka langsung memuncak. Sedangkan bagi suto hal itu hanya dihadapi dengan tenang, bahkan sesekali ada yang dihadapi dengan senyum saja.
“Sudahlah sayang, masalah seperti itu jangan engkau larut-laruti, sabar saja, sebentar lagi pasti tidak akan terasa bila engkau hadapi dengan senyuman. Sebab senyumanlah yang selalu mampu membunuh duka, membalut luka, mengubur dendam dan mengobati sakit hati.” ucap Suto pada Surti suatu ketika. Dan kata itu masih belum bisa dilupakan Surti hingga saat ini—di saat tangan hangat yang selalu membelainya dengan lembut tiba-tiba saja menampar.
Kejadian itu menjadi misteri tersendiri bagi Surti. Ada perasaan tidak percaya menjalar kerongga dadanya, masuk kejantung kemudian bercampur dengan darah yang sudah teraduk dengan oksigen yang siap dikirim ke berbagai penjuru tubuh termasuk otak.
Tidak butuh waktu lama penasaran itu sudah sampai di ujung kepala memenuhi rongga otak Surti. Dengan penasaran yang lebih condong tidak mempercayai sikap Suto padanya tadi, Surti berniat untuk mengintrogasi—menanyakan semuanya pada Suto secara detail. Kenapa ia bisa sampai bertingkah seperti itu. kemudian jika karena masalah maka bisa dibicarakan baik-baik, tanpa menggunakan kekarasan. Bukankah semua masalah bisa diselesaikan dengan negosiasi dan kepala dingin. Pikir Surti sebelum beranjak dari duduknya.
Setelah semua air matanya terhapus Surti bengong dari duduknya dengan kemantapan hati yang dipenuhi rasa penasaran. Ia tidak langsung menghampiri Suto yang sudah dari tadi masuk ke dalam kamarnya. Ia pergi ke dapur untuk menyeduh teh agar nantinya ketika berbicar bisa lebih santai. Siapa tahu kehangatan teh bisa menjadikan kepala yang hampir pecah berubah menjadi dingin dan bisa diajak kompromi. Tak lupa ia juga memabawa buah-buahan yang tadi siang ia beli di pasar. Setelah semua perlengkapan siap ia melangkahkan kaki menju kamar tempat biasa bercengkrama dengan suaminya.
Sebelum Surti masuk terlebih dahulu ia mengetuk pintu dan memanggil suaminya sebagai isyarat minta izin. Namun ketukan itu tak kunjung menemukan jawaban. “Mungkin lagi dikamar mandi.” guman Surti sebelum membuka pintu kamarnya.
“Mas, mandi dulu gih. Gak baik kalau baru selesai beraktifitas langsung tidur. Apalagi badan Mas ini agak kotor” kata surti dengan mengoyang-goyangkan tubuh suamainya yang mungkin sudah tertidur pulas.
Setelah beberapa kali mengoyang tubuh suaminya surti masih belum mendapat respon. Tapi ia tidak berhenti kerena khawatir suami tercintanya sakit karena masuk angin. Bagaimanapun perlakuan suaminya tadi tidak dapat merubah cinta yang tumbuh subur di hatinya. Bahkan ia merasa kejadian tadi hanya sekedar ujian ringan saja untuk semakin menguatkan kasih sayang pada suaminya. Hanya sekedar ujian kesabaran yang tak pernah ia alami sebelum-sebelumnya. Bagaimana mungkin selama ini Surti diuji kesabarannya jika ketika bersama dengan Suto, Surti tidak pernah dibuat marah bahkan Suto selalu mengalah jika suatu ketika ada konflik diantara mereka berdua.
Sedangkan Suto masih tertidur pulas. Ia berjalan-jalan dalam dunia mimpi. Namun mimpi kali ini berbeda dengan mimpi biasa. Mimpi itu adalah mimpi paling menakutkan bagi Suto. Mimpi yang hanya terjadi setahun sekali. Mimpi aneh, sangat aneh karena ketika Suto mengalami mimpi itu, maka secara otomatis tubuhnya akan mengamuk tanpa peduli apapun. Ia akan menghacurkan apapun yang berada di depannya. Ia berubah menjadi mesin pembunuh dan anehnya lagi ketika sekitar satu jam ia kembali lagi ketempat tidurnya persisi seperti sebelum ia mengamuk. Tapi sudah lama Suto tidak menghancurkan barang-barang ketika bermimpi seperti itu, karena ia sebelum tidur sudah mengikat dirinya sendiri. Dan yang sangat aneh Suto mengalami mimpi sama di tanggal dan bulan yang sama. Malam ini tidak seperti tahun-tahun lalu, sebab sekarang Suto tidak mengikat dirinya.
Surti masih belum menyerah untuk membangunkan Suto. Setelah berapa menit akhirnya Suto membuka mata, namun ada yang aneh dengan mata Suto. Tatapan yang selama ini teduh kini berubah menjadi kosong, sesekali tampak menyimpan ribuan amarah. Suto bangun dari tidurnya. mungkin benar itulah yang diharapkan surti namun tidak dengan cara seperti ini. Surti berangsur-angsur mundur menjauhi Suto yang berlagak aneh.
Setelah mundur beberapa langkah akhirnya Surti tidak bisa melangkah lagi kerana terhalang tembok. Suto turun dari tempat tidurnya kemudian mengikuti surti hingga ke tembok. Kini jarak mereka hanya beberap senti saja. Dengan gerakan elegan suto merangkul Surti. Surtipun merasakan seperti ingin terbang mendapat pelukan hangat suaminya meskipun tanpa kata-kata mesra. Kadang saat-saat seperti inilah yang paling dirindukan Surti—di saat suaminya memberikan kejutan.
Keduanya kini telah beralih ke ranjang. Namun tiba-tiba saja tubuh Suto mengejang seperti orang kesurupan. Tubuh Suto yang asalnya memeluk erat Surti kini meloncat seperti terlempar ke bawah ranjang. Dari mulutnya tiba-tiba saja ada terikan tipis mirip seperti senyum, namun tidak bersahabat. Surti tidak peduli, atau memang surti tidak melihat kehadiran senyum itu karena saking tipisnya. Surti pun abai terhadap kelakuan Suto yang tiba-tiba saja berubah-ubah. dalam hatinya ia masih meyakini bahwa perubahan tingkah itu adalah bagian dari skenario Suto untuk membahagiakannya.
Setelah beberapa saat berdiri mematung, Suto akhirnya menoleh pada nampan berisikan buah-buahan dan sebilah pisau. Tidak ada satupun orang yang tahu apa maksud Suto dengan tolehan dan senyum semakin mengembang itu. sedangkan Surti hanya tetap diam di ranjang menunggu kejutan yang akan diberikan Suto.
Dengan secepat kilat Suto menyambar pisau dinampan itu kemudian meloncat keranjang dan menghujamkan kepada surti. Surti yang masih terlena dengan bayang-bayang keindahan jika nanti Suto memberikan kejutan tidak sempat berteriak hingga pisau ditangan Suto menembus perutnya. Ada perasaan nyeri yang lebih nyeri dari pada sakit akibat hujaman pisau ditangan suto. Ingin rasanya ia menjerit namun suaranya seperti tercekat. Ia merasakan dadanya remuk meskipun tak ada yang menikam dadanya. Tampa terasa air mata bening mengalir di pipinya yang halus seperti pualam. Ia tidak pernah memikirkan hal ini bisa terjadi padanya. Kekasih yang ia cintai itu tiba-tiba saja tanpa suara dan aba-aba menghujamkan pisau ketubuhnya bahkan dengan senyuman yang begitu akrab.
Suto sudah terbaring sejak dari tadi. Sejak pisau itu menembus kulit surti suto tiba-tiba saja jatuh tengkurap seperti orang sedang pingsan. Surti tidak pernah menyadari bahwa Suto memiliki penyakit kejiwaan yang akan kambuh setiap setahun sakali. Sutopun tidak akan pernah menyadari terhadap apa yang ia lakukan malam ini. Dan besok pagi ketika sinar mentari membangunkan suto ia akan terkejut.
***
Ketika nanti orang-orang menemukan mayat keduanya, maka mereka hanya akan menganggap bahwa keduanya tidak ingin berpisah. Meskipun kisah cinta mereka menjadi misteri yang sangat menarik, Semua orang tidak akan pernah mengusut siapa yang membunuh keduanya, atau menganalisis dengan teliti penyebab kematian mereka berdua, sekalipun itu polisi. Mereka hanya beranggapan bahwa Suto dan Surti akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak jika mereka mati bersama. Sebab bagi mereka berdua kesetiaan adalah segalanya.
*Penulis adalah Crew LPM Retorika