Mentari pagi masuk dari celah jendela, cahayanya mengganggu tidurku. Belum sepenuhnya aku terbangun, ibu sudah mengomel di depan pintu. “Ayo Ndi bangun, sampai kapan kamu mau tidur?”
Perlahan aku beranjak dari tidurku dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian seragam lengkap, aku menyusul ibu ke meja makan. Sepiring tumis kangkung, tempe dan tahu goreng menjadi lauk pauk kami hari ini.
Aku harus menghabiskan sarapanku terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Sementara ibu, ia akan pergi bekerja ke pabrik garmen. Tak jarang aku melihat kepayahan ibu, mengurusku sambil bekerja. Jika saja aku sudah dewasa dan bekerja sendiri. Aku pasti takkan merepotkannya lagi.
“Bu, sebenarnya Ayah di mana? Sejak kecil Andi tak pernah bertemu.”
Seketika raut wajah ibu terlihat berbeda dari sebelumnya. Kini dipenuhi kepedihan, entah karena apa. Ibu juga tak pernah mau membaginya, meski pada aku (anaknya) sendiri. “Sudah, kamu cepat berangkat. Kalau telat nanti dihukum guru lho.”
Aku mencium punggung tangannya, kemudian berpamitan untuk ke sekolah. Aku menaiki sepeda bekas yang dibelikan ibu. Di pertengahan jalan, beberapa temanku memanggil. “Ndi … Ayahmu mana, kok tidak mengantarmu?” tanya mereka sambil tertawa mengejek.
Aku hanya terdiam. Beribu pertanyaan menggema di kepalaku, di manakah sebenarnya ayah? Sampai sekarang tak pernah menemuiku.
Beberapa saat kemudian akhirnya aku sampai di sekolah. Aku tekankan pada diri sendiri bahwa aku harus rajin belajar, tidak boleh memikirkan hal yang lainnya.
***
Seperti biasa, ibu pulang saat menjelang petang. Aku membuatkan secangkir teh hangat untuknya, berharap hal itu dapat menjadi pereda lelah ibu setelah bekerja seharian. Ibu menerimanya dengan senang dan langsung meminumnya.
“Tehnya enak sekali … Kamu pandai membuatnya,” kata ibu sambil mengusap rambutku.
“Bu, sebenarnya Ayah di mana?” tanyaku kembali seperti tadi pagi.
Cangkir berisi teh di tangan ibu terjatuh, hancur saat mengenai permukaan lantai. “Kenapa kamu sering bertanya ini?”
“Emm … Aku sangat penasaran, semua orang bertanya tentang itu.”
“Ayahmu sebenarnya sudah meninggal.”
Jawaban ibu seperti ledakan bom di keheningan, membuat perasaanku tidak karuan. “Ibu pasti bohong kan? Tidak mungkin Ayah pergi secepat ini.”
“Itulah yang sebenarnya, kamu harus bisa tabah menerima!”
Walaupun ibu memintaku untuk rela menerima, tetapi rasanya tak mudah. Semua orang memiliki ayah, mendapatkan kasih sayang dari sosok tersebut. Sementara aku tidak pernah mendapatkan itu, bertemu dengannya saja tak pernah. “Lalu di mana makamnya, Bu?”
Ibu tampak kebingungan dan berpikir keras. “Kapan-kapan ibu ajak ke sana,” katanya, lalu pergi ke dalam kamar. Jelas ia menghindariku.
Aku termenung di ruang tamu. Mengapa takdir Tuhan seperti brotowali? Aku rasanya tak sanggup. Tetapi aku menjadi penasaran, apakah yang dikatakan ibu adalah kebenaran? Aku ingin mencari tahu semuanya.
Aku mengendap ke kamar ibu, membuka laci berisi surat dan dokumen. Aku berusaha mencari tanpa suara, jangan sampai ibu terbangun karena ulahku. Di dalam sana aku menemukan kartu keluarga, tertulis nama ‘Hartanto’ sebagai kepala keluarga. Apakah dia itu ayahku? Aku harus mencari lagi jawabannya.
Tak beberapa lama, aku kembali menemukan sesuatu. Sebuah foto usang seorang pria, wajahnya cukup mirip denganku. Tidak salah lagi, orang tersebut adalah ayahku. Aku terisak di kamar ibu. “Aku bahagia bisa mengetahui wajah Ayah.”
“Andi, kamu sedang apa di situ?”
Suara ibu mengejutkanku, rupanya peremouan itu telah terbangun dari tidurnya. Segera kututup laci dan memasukkan foto itu kembali. “Tidak Bu, tadi aku hanya mencari lotion anti nyamuk,” jawabku berbohong.
Aku segera kembali ke kamarku. Setelah ini, semua pertanyaan di kepalaku akan terjawab. Semua rahasia yang ibu sembunyikan akan terungkap. Aku memutuskan tidur, besok harus bangun pagi untuk sekolah.
***
“Andi, kamu ngelamun wae,” kata Mbak Warni, tetangga sebelah rumahku.
“Eh Mbak … Saya cuma kangen sama Ayah.”
“Ayah kamu? Kenapa orang kayak begitu kamu kangenin. Nggak pantes Ndi.”
“Memang kenapa Mbak?”
“Dia itu sering kasar ke ibumu, main judi, perempuan, mabuk. Semuanya nggak ada yang baik.”
“Jangan hina Ayah saya, Mbak!”
“Maaf, mbak cuma membicarakan fakta. Bukan bermaksud apa-apa.”
“Lalu, apakah ayah saya benar meninggal?” tanyaku penasaran.
“Dari mana kamu dapat info itu?”
“Ibu saya Mbak, dia yang bilang begitu.”
“Ayah kamu belum meninggal, dia sebenarnya di ….”
Belum tuntas Mbak Warni menyelesaikan perkataannya, ibu sudah berteriak memanggilku. Aku segera pulang ke rumah. “Maaf Mbak, saya pulang dulu ya.”
Ibu terlihat tidak senang melihatku berbicara dengan Mbak Warni. “Kamu bicara apa dengan perempuan itu?”
“Tentang Ayah, kelakuan Ayah pada Ibu.”
“Kamu tahu semuanya?”
Aku menganggukkan kepala, sambil menunggu ibu menceritakan semuanya. Rahasia ini harus aku ketahui, meskipun nyatanya akan menyakitkan.
“Benar, ayahmu adalah orang jahat. Ibu berusaha menutupi semuanya darimu. Ayahmu sebenarnya belum meninggal,” ibu tak kuasa melanjutkan kalimatnya, ia terduduk lemas di kursi ruang tamu.
“Lalu di mana Ayah, Bu?”
“Dia ada di penjara, kamu tidak boleh menemuinya!” kata ibu dengan terisak.
Aku memeluk ibu, mencoba untuk menenangkan gemuruh hatinya. “Ibu jangan menangis!”
“Dia akan mengambilmu Ndi, ibu takut kehilanganmu. Dia bukan orang yang baik,” ucap ibu sambil mengulurkan selembar koran berisi berita.
Aku membacanya dengan saksama. Ternyata berita itu tentang pembunuhan di sebuah klub malam. Pelakunya adalah Hartanto, yang tak lain adalah ayahku sendiri.
Sabtu, 12 Juni 2011
Sebuah peristiwa pembunuhan terjadi di sebuah klub malam, yang berlokasi di Jalan Gangsa nomor 12. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh kecemburuan tersangka (H), pada korban (W) yang tak lain adalah temannya sendiri. W saat itu mengajak berkenalan dengan kekasih H yang bekerja di klub malam. Tak terduga, H yang mabuk langsung menganiaya W hingga tak berdaya. Setelah itu, H langsung memukul kepala W dengan botol minuman keras. W tewas di tempat, sementara H langsung diamankan oleh pihak berwajib. (Berita Harian).
Peristiwa itu terjadi sepuluh tahun lalu, saat aku genap berusia 5 tahun. Sekarang aku sudah berumur 15 tahun, sebentar lagi ayah akan bebas dari penjara.
Ibu memelukku dengan hangat, air matanya menetes ke pipiku. “Ibu akan selalu menjagamu, kita akan pergi dari kota ini. Agar ayahmu tak bisa menemukan kita.” Aku hanya bisa menurut.
Tiba-tiba pintu diketuk, artinya ada tamu yang datang. Ibu segera membukakan pintu, dan kami terkejut melihat orang yang berdiri di luar sana. Dia adalah ayahku. “Andi, ayah sudah pulang. Apa kau tak mau memelukku?” tanyanya di depan pintu, sementara aku dan ibu hanya bisa terdiam bisu.
Tentang Penulis: Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, serta keduanya berjudul Lima Sekawan terbit di Guepedia tahun 2020. Saat ini ia tengah sibuk kuliah, menimba ilmu di COMPETER Indonesia dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Karya-karyanya banyak terangkum di antologi bersama dan media online.