Sumpah Pocong

0
498
Photo by Zainuddin.

By Azura

Gemericik air dari sumur beriring suara azan yang berkumandang di masjid dekat gubuk tua milik ju’ Enti. Sudah 20 tahun lamanya ju’ Enti hidup sebatang kara setelah suaminya meninggal karena perut yang bengkak. Sementara ia tidak memiliki keturunan, sehingga harus menghabiskan masa tuanya sendirian. Bersyukur ia masih memiliki tetangga yang peduli dengannya. Tak jarang ia dibelikan jajanan pasar yang dibeli di pasar Ghundâl setiap pagi, seperti Katémel, Tenggâng, atau Sobek. Di masa tuanya, ju’ Enti menyibukkan diri dengan memantapkan hatinya kepada sang Pencipta. Waktunya ia gunakan untuk beribadah dan senantiasa berbuat baik, bahkan tak jarang ketika mendapat sedikit rezeki ia sedekahkan dengan mengisi kotak amal diam-diam ketika selepas subuh tiba.

“Bi, semoga di sana kamu tenang, aku akan berusaha untuk menebus segala kesalahan-kesalahan kita dulu” lirih suara ju’ Enti menyesap di sela daun-daun katés rambâi melambai. Seolah ia berbicara langsung dengan suaminya, Atrabi yang telah menyatu dengan tanah. Celurit yang menghiasi langit Jumat malam itu menjadi saksi ketulusan hatinya. Suara tarhém yang menggema menyentuh dinding jiwa membawa ingatan ju’ Enti pada kejadian 20 tahun silam. Kejadian yang membuat air matanya kering karena penyesalan yang tak lekang dilahap zaman.

Siang itu, matahari begitu hasrat menyorot bumi. Langit biru berselimut awan putih bagai permadani Zeus yang terhampar begitu saja. Atrabi, sibuk mencampur kemenyan dengan tujuh macam kembang setelah sepasang suami istri datang menemuinya. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra. Sementara Enti istrinya, menyiapkan benang, jarum, potongan kain kafan, dan segenggam tanah kobhurân anyar di sampingnya. Misinya kali ini harus benar-benar berhasil. Karena itu, Atrabi akan melakukan puasa selama 7 hari penuh sebagai tapa atau tirakatnya guna upaya mengasah ketajaman mantranya.

Sekitar dua minggu kemudian, sepasang suami istri itu kembali berkunjung ke gubuk Atrabi dan Enti. Sambil membawa sekarung kelapa tua dan kendi yang entah apa isinya. Atrabi dan Enti menyambutnya dengan ramah. Disilakan mereka masuk dan kemudian duduk di kursi kayu yang sudah sedikit lapuk.

“Gimana Ki, apakah sudah berhasil?” tanya sang suami kepada Atrabi.

“Ah ya, tenang saja, apakah kau membawa semua persyaratan yang ku minta kemarin?”

“Tentu, semuanya sudah saya simpan di dalam kendi ini”

Sang istri kemudian menyerahkan kendi itu ke tangan Enti untuk diperiksa. Enti membongkar semua isi kendi itu yang merupakan syarat dari ilmu hitam yang mereka lakukan. Satu buah paku dan beberapa helai rambut yang diikat menggunakan benang hitam.

Ah kejadian itu masih tersimpan jelas di ingatan Ju’ Enti.

***

Hari itu, mentari tersenyum menyambut pagi yang sesak dengan orang-orang di pasar. Ju’ Enti terlihat memasuki kerumunan orang yang sedang membeli nasi pecel di warung Arwiya. Ia membeli dua bungkus nasi untuk ia makan dan berikan kepada Lani. Gadis yang berusia 18 tahun itu karena telah membantunya menyeret kolaré dari Lao’ Sabâ kemarin sore.

“Mau beli berapa bungkus Ju’?” tanya Arwiya sang penjual nasi.

“Ah dua bungkus Ar, tiga ribuan saja” Jawab Ju’ Enti.

Setelah dua bungkus nasi tersebut selesai dibungkus, Ju’ Enti tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan ke rumah Lani yang terletak di sebelah timur gubuk tuanya.

“Ini Lan, Ju’ Enti belikan sebungkus nasi sebagai ungkapan terima kasih kemarin karena telah membantu Ju’ Enti menyeret Kolaré.” Senyum Ju’ Enti mengembang sebagai bentuk ketulusan hatinya.

“Ah iya Ju’, terima kasih yah.” Sahut Lani tak kalah lembut.

Ju’ Enti merasa bahagia, sebab uang yang dia hasilkan dengan meraut lidi itu dapat ia gunakan untuk hal yang bermanfaat meskipun tak seberapa. Hatinya berdesir setiap udara masuk melalui rongga hidungnya memenuhi dadanya. Ju’ Enti sangat bersyukur.

“Bi, semoga apa yang aku lakukan hari ini, dapat meringankan segala dosa kita dulu.” Batin Ju’ Enti.

Belum sampai di halaman rumahnya, ia dikejutkan dengan suara teriakan di belakang punggungnya.

“Ju’ kau beri apa anakku, kenapa dia bisa muntah-muntah dan tiba-tiba sakit perut, apa kau sudah memberinya makanan yang telah dicampur dengan tuwâ?”

“Salah apa anakku padamu hah, sampai kau tega sekali melakukan ini pada anakku.”

Salimah, ibu Lani berteriak sambil menangis kepada Ju’ Enti. Ju’ Enti begitu terkejut, wajahnya pucat pasi ketakutan. Ia merasa bingung, sebab sebungkus nasi yang ia beli dan ia beri pada Lani tadi pagi murni tidak bercampur dengan apapun, apalagi tuwâ. Ah, Ya Tuhan, betapa ngilu hatinya jika kejadian bertahun-tahun silam masih melekat dalam dirinya dalam pandangan masyarakat desa ini.

***

Masyarakat berkumpul di depan rumah Salimah. Ju’ Enti duduk terdiam dengan segala tuduhan yang dilayangkan padanya. Hatinya begitu pasrah, sebab ia yakin bahwa kebenaran akan selalu terungkap meskipun tidak saat itu juga. Ia terluka bukan karena tuduhan itu, tetapi penyesalan telah merajam hatinya dan kepercayaan masyarakat ikut terluka akibat perbuatannya dulu.

“Aku yakin Ju’ Enti telah mencampur makanan itu dengan tuwâ.” Atramo berkata dengan kilat mata yang tajam. Atramo merupakan salah satu warga desa tersebut yang tinggal tidak jauh dari gubuk tua Ju’ Enti. Tajam matanya menyiratkan kebencian yang tak terbendung kepada Ju’ Enti.

“Kita tidak boleh menghakimi seseorang begitu saja, lebih baik kita tanyakan dulu, dan saya mohon Ju’ jawab dengan jujur.” Tegas Pak Zali selaku kepala desa. Ia meminta agar Ju’ Enti mengakuinya jika memang benar adanya begitu.

“Pak, demi Allah saya tidak memberikan apa pun apalagi tuwâ pada makanan itu, saya baru saja membelinya di pasar dan langsung saya antar ke rumah Lani.” Tutur Ju’ Enti dengan mata berkaca-kaca.

“Alah nggak usah berkilah Ju’, bukankah kamu memang dari dulu tukang santet. Dulu, Arbi’a meninggal dengan perut membengkak juga ulahmu kan.” Ucap Atramo sarkastis. Mata Ju’ Enti semakin sembab.

“Tolong biarkan Ju’ Enti menjelaskan terlebih dahulu, kita tidak boleh menuduh tanpa bukti yang nyata.” Ucap Pak Zali menengahi.

“Butuh bukti apalagi Pak, buktinya Lani tiba-tiba muntah-muntah dengan perut yang sakit setelah memakan nasi pemberian dia sampai sekarang harus dilarikan ke rumah sakit.”

“Cukup Atramo, kamu diam dulu, jangan sampai tuduhanmu menjadi petaka bagi dirimu sendiri.”

Tiba-tiba Atramo kembali berucap tegas “Mending kita sumpah pocong saja dia.”

Ju’ Enti terperanjat mendengar hal itu. Ia tidak menyangka bahwa di umurnya yang sudah renta ini akan berhadapan dengan hal-hal yang dulu sangat ia takuti. Dadanya sesak seperti dihantam batu raksasa dengan sengaja.

“Sudah Pak, sumpah pocong saja jika memang itu dapat membuktikan kebenarannya.” Ju’ Enti menggerakkan bibirnya begitu ketir. Ia sadar, barangkali ini adalah hukuman yang harus dia terima karena jejak pahit kelamnya perbuatannya dengan suaminya dulu.

Masyarakat terdiam mendengar persetujuan Ju’ Enti untuk melakukan ritual sumpah pocong sebagai pembuktiannya, sementara Atramo sedikit getir terhadap sikap yang diambil Ju’ Enti.

“Baiklah, Bapak-bapak dan Ibu-ibu tolong jangan dulu gegabah, kita tanyakan dulu kepada keluarga Lani, apakah mereka setuju jika diadakan ritual sumpah pocong ini, mengingat konsekuensi dari ritual ini begitu berat.” Tutur Pak Zali berusaha tetap bijaksana dalam menghadapi masalah yang rumit ini.

“Bagaimana Pak Rahim, apakah Bapak setuju dengan permintaan masyarakat ini.” Rahim adalah saudara bapak Lani yang memang diminta untuk menyelesaikan masalah ini sementara kedua orang tua Lani masih di rumah sakit. Rahim dari tadi hanya bungkam, sebab ia tahu permasalahan ini sulit diselesaikan hanya dengan banyak bicara. Menurutnya kepala desa jauh lebih berhak menentukan, jika memang ini sudah keputusan bersama maka ia akan menyetujuinya.

“Jika memang ritual ini dapat menyelesaikan kegaduhan ini, saya pasrahkan kepada Pak Zali selaku kepala desa di sini.” Jawab Rahim dengan yakin.

Akhirnya, ritual sumpah pocong ditetapkan untuk dilakukan nanti malam tepat pada malam Jumat sekitar pukul 1 tengah malam di Masjid Babul Jannah. Ju’ Enti meyakinkan hatinya agar pasrah dengan segala keputusan yang menyakitkan ini.

***

Tepat pukul 00.30 Atramo, Ju’ Enti, Pak Zali, Rahim, dan beberapa masyarakat berkumpul di Masjid Babul Jannah. Peralatan sudah lengkap seperti kain kafan dan orang saksi yang memang sudah disiapkan. Sumpah pocong akan dibimbing oleh salah satu tokoh agama yaitu Kiai Sapra dengan pengucapan sumpah beserta risiko jika berbohong.

“Ju’ Enti apakah Anda sudah siap?” Tanya Ki Sapra

“Siap Ki.” Jawab Ju’ Enti dengan suara begitu dalam.

“Atramo?”

“Siap Ki.”

Sebagaimana orang mati, hal pertama yang dilakukan adalah memandikan Ju’ Enti, kemudian dibaringkan dan dipakaikan kain kafan dengan tiga ikatan di tubuhnya selayaknya pocong. Selaku penuduh, turut dibungkus kain kafan untuk melakukan sumpah sebagai penuduh. Dadanya berdesir ditambah kesiap angin malam yang membuat bulu kuduk berdiri merinding.

Setelah membaca dua bait syahadat Ju’ Enti dibimbing mengucap sumpah oleh Ki Sapra “Saya Enti, bersumpah demi Allah tidak memberikan tuwâ kepada makanan yang saya berikan kepada Lani sebagaimana yang dituduhkan Atramo. Jika saya berbohong saya berani menerima risikonya bahkan jika harus mati sekalipun. Saya melakukan sumpah pocong atas kesadaran dan keyakinan diri saya sendiri.” Pengucapan sumpah itu disaksikan oleh beberapa orang sebagai saksi dalam ritual tersebut. Kini, giliran Atramo yang akan mengucapkan sumpah. Ia begitu yakin Ju’ Enti memang dukun santet karena sepasang suami istri yang dulu pernah berkunjung ke rumah Ju’ Enti dan Ju’ Atrabi adalah dia dengan istrinya. Kegagalan dari niatnya dulu telah merampas nyawa istrinya yang tiba-tiba mati sebagai tebusannya.

Setelah dua kalimat syahadat diucapkan, Atramo pun dibimbing mengucapkan sumpah sebagaimana Ju’ Enti. “Saya Atramo, bersumpah demi Allah atas kebenaran ucapan saya bahwa Ju’ Enti adalah dukun santet dan telah memberikan tuwâ di makanan tersebut. Jika saya berbohong, saya bersedia menerima segala konsekuensinya bahkan jika harus mati sekalipun.” Akhirnya setelah kedua orang yang bersangkutan telah melakukan dan mengucapkan sumpah pocong, ritual tersebut ditutup dengan pembacaan doa dipimpin oleh Kiai Sapra.

***

Menjelang satu minggu kejadian itu, Atramo mengalami sakit parah yang disertai kejang-kejang hingga harus opname di rumah sakit. Penyakit yang menyerangnya begitu tiba-tiba sulit ditelusuri oleh tenaga medis. Sudah sekian dukun sakti yang berupaya mengobatinya, tetapi keadaan Atramo malah semakin memburuk.

Tak dapat dihindari Atramo benar-benar tiada setelah kejang-kejang selepas azan Magrib di rumah sakit tempatnya dirawat. Hal itu, menggegerkan warga setempat yang mengaitkan dengan ritual sumpah pocong yang dilakukan oleh Atramo sebagai penuduh Ju’ Enti telah melakukan tindakan keji itu. Kenyataan itu, membuat masyarakat berasumsi bahwa Atramo telah berbohong atas tuduhannya. Namun, berita yang lebih mengejutkan juga datang dari pengeras suara masjid yang mengumumkan bahwa Ju’ Enti telah meninggal dunia tepat ketika hendak melakukan salat Maghrib di gubuk tuanya.

 

*Penulis merupakan mahasiswa aktif Prodi PBSI semester V.

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here